MAKALAH INTERSEPSI DAN EVAPOTRANSPIRASI
MAKALAH
INTERSEPSI DAN EVAPOTRANSPIRASI
Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
HIDROLOGI DAN LINGKUNGAN
Dosen Pengajar :
Dr. DEASY ARISANTY, M.Sc
Drs. H. SIDHARTA ADYATMA, M.Si,
MUHAMMAD EFENDI, M.Pd,
Oleh :
ROMADONI
GUNAWAN
A1A515055
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2016
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT,
atas berkat rahmat dan karunia – Nya lah, makalah ini dapat segera dapat
terselesaikan dengan baik dan sesuai dengan tepat waktu.
Makalah ini di buat bertujuan untuk mempelajari dan
memperdalam ilmu pengetehuan mengenai Intersepsi dan Evapotranspirasidalam mata kuliah HIDROLOGI DAN LINGKUNGAN. Juga saya
ucapkan terima kasih kepada ibu Dr. DEASY ARISANTY, M.Sc, bapak Drs. H. SIDHARTA ADYATMA,
M.Si, dan bapak MUHAMMAD EFENDI, M.Pd,selaku dosen pembimbing.
Makalah ini tentu masih banyak memiliki kekurangan, untuk
itu saya berharap adanya kritik dan saran yang membangun mengenai makalah ini
demi mendapat kesempurnaan.
Demikian tugas ini di buat, semoga
tugas ini dapat menjadi referensi dan menambah wawasan bagi pembacanya.
Banjarmasin,
Desember 2015
Hormat saya
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………..........i
Daftar Isi……………………………………………………………..................ii
Bab I Pendahuluan……………………………………………………………...1
A.
Latar Belakang…………………………………………………………..1
B.
Rumusan Masalah
……………………………………………………....1
C.
Tujuan …………………………………………………………………...1
Bab II Pembahasan……………………………………………………………….2
A.
Intersepsi……………………………………………………………….....2
B.
Evaporasi dan Transpirasi…………………………………………….….20
Bab III Penutup…………………………………………………………………...48
Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Evapotranspirasi adalah gabungan
evaporasi dan transpirasitumbuhan yang hidup di permukaan bumi.Air yang diuapkan oleh
tanaman dilepas ke atmosfer.Evaporasi merupakan pergerakan air ke udara dari
berbagai sumber seperti tanah,
atap, dan badan air.Transpirasi merupakan pergerakan air di dalam
tumbuhan yang hilang melalui stomata akibat diuapkan oleh daun. Evapotranspirasi adalah bagian terpenting dalam siklus air
Evapotranspirasi potensial
adalah nilai yang menggambarkan kebutuhan lingkungan, sekumpulan vegetasi, atau
kawasan pertanian untuk melakukan evapotranspirasi yang ditentukan oleh
beberapa faktor, seperti intensitas penyinaran matahari, kecepatan angin, luas
daun, temperatur udara, dan tekanan udara.Evapotranspirasi potensial juga
menggambarkan energi yang didapatkan oleh kawasan tersebut dari matahari. Di
sisi lain, transpirasi sebanding dengan seberapa banyak karbon yang diserap oleh kawasan
vegetasi karena transpirasi juga berperan perpindahaan CO2 dari
udara ke daun.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan intersepsi dan evapotranspirasi ?
2.
Apa yang
di maksud dengan evaporasi dan transpirasi ?
3.
Apa saja faktor-faktor penentu dan hasil penelitian
intersepsi ?
4.
Apa saja cara-cara untuk mengukur Intersepsi ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian tentang intersepsi
2.
Untuk mengetahui pengertian tentang evapotranspirasi
3.
Untuk mengetahui pengertian tentang pengukuran Intersepsi
4.
Untuk mengetahui pengertian tentang evaporasi dan transpirasi
Bab II
Pembahasan
INTERSEPSI
DAN EVAPOTRANSPIRASI
Evapotranspirasi adalah keseluruhan
jumlah air yang berasal dari permukaan tanah, air dan vegetasi yang diuapkan
kembali ke atmosfer.Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi adalah jumlah
antara evaporasi (penguapan air dari berasal dari permukaan tanah), intersepsi
(penguapan kembali air hujan dari permukaan tajuk vegetasi) dan transpirasi
(penguapan air tanah ke atmosfer melalui vegetasi). Beda antara intersepsi dan
transpirasi adalah bahwa pada proses intersepsi yang diuapkan kembali ke
atmosfer tersebut adalah air hujan yang tertampung sementara pada permukaan
tajuk dan bagian lain dari suatu vegetasi sedangkan transpirasi adalah sebagai
hasil proses fisiologi vegetasi.
Dengan
kata lain, pada proses transpirasi, air yang diuapkan kembali ke atmosfer berasal
dari dalam tanah. Air tanah diserap oleh akar vegetasi kemudian dialirkan ke
bagian-bagian lain dari tanaman tersebut
(melalui proses fisiologi tanaman) untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfer
ketika faktor-faktor iklim seperti suhu udara, kecepatan angin diatas permukaan
tajuk, batang dan cabang tanaman memungkinkan untuk terjadinya penguapan. Pada proses intersepsi, air yang diuapkan adalah air yang
berasal dari curah hujan yang berada pada permukaan daun, ranting dan cabang
dan belum sempat masuk kedalam tanah.
3.1 INTERSEPSI
Intersepsi air hujan (rainfall interception loss) adalah
proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat,
untuk kemudian diuapkan kembali (“hilang”) ke atmosfer atau diserap oleh
vegetasi yang bersangkutan. Proses intersepsi terjadi selama berlangsungnya
curah hujan dan setelah hujan berhenti sampai permukaan tajuk vegetasi menjadi
kering kembali. Setiap kali hujan jatuh di daerah bervegetasi, ada sebagian air
yang tak pernah mencapai permukaan tanah, dan dengan demikian, tidak berperan
dalam membentuk kelembaban tanah, air larian atau air tanah. Air tersebut akan
kembali lagi ke udara sebagai air intersepsi tajuk, seresah dan tumbuhan bawah.
Intersepsi dianggap faktor penting
dalam daur hidrologi karena berkurangnya air hujan yang sampai di permukaan
tanah oleh adanya proses intersepsi adalah cukup besar. Dari keseluruhan
evapotranspirasi, besarnya intersepsi bervariasi antara 35-55 %.
Oleh
karenanya, pengelola daerah aliran sungai harus tetap memperhitungkan besarnya
intersepsi karena jumlah air yang “hilang” sebagai air intersepsi dapat
mempengaruhi neraca air lokal dan regional.Besarnya intersepsi hujan bekisar
antara 35-75 % dari keseluruhan evapotranspirasi di atas tegakan hutan.
Sementara besarnya intersepsi di hutan
hujan tropis berkisar antara10-35 % dari curah hujan total (Bruijnzeel, 1990).
Perubahan tegakan penutup tanah dari satu jenis vegetasi lain dapat
mempengaruhi neraca air tahunan di daerah tersebut.
Air hujan yang jatuh di atas
permukaan vegetasi yang lebat, terutama pada permulaan hujan, tidak langsung
mengalir ke permukaan tanah. Untuk sementara, air tersebut akan ditampung oleh
tajuk batang dan cabang vegetasi. Setelah tempat-tempat tersebut jenuh dengan
air, maka air hujan yang datang kemudian akan menggantikan air hujan yang
tertampung tersebut untuk selanjutnya menetes ke tajuk, batang dan cabang
vegetasi di bawahnya sebelum akhirnya sampai di atas tumbuhan bawah, seresah,
dan permukaan tanah. Besarnya air yang tertampung di permukaan tajuk, batang
dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas simpan intersepsi ( canopy storage capacity ) dan besarnya
ditentuntukan oleh bentuk, kerapatan, dan tekstur vegetasi.
Air hujan jatuh pada permukaan tajuk
vegetasi akan mencapai permukaan lantai hutan melalui dua proses mekanis, yaitu
air lolos ( throughfall ) dan aliran
batang ( stemflow ). Air lolos jatuh langsung ke permukaan tanah melalui
ruangan antar tajuk/daun atau menetes melalui daun, batang dan cabang.Sedangkan
aliran batang adalah air hujan yang dalam perjalanan mencapai permukaan tanah
mengalir melalui batang vegetasi. Dengan demikian, intersepsi hujan adalah beda
antara curah hujan total dan hasil pertambahan antara air lolos dan aliran
batang.
3.1.1 Faktor-faktor Penentu dan
Hasil Penelitian Intersepsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses intersepsi dapat dokelompokkan menjadi dua, vegetasi dan iklim. Yang
termasuk dalam kelompok vegetasi adalah luas vegetasi hidup dan mati, bentuk
dan ketebalan daun dan cabang vegetasi. Faktor iklim termasuk jumlah dan jarak
lama waktu antara satu hujan dengan hujan berikutnya, intensitas hujan,
kecepatan angin, dan beda suhu antara permukaan tajuk dan suhu atmosfer.
Air pada permukaan tajuk vegetasi
lebih siap untuk terjadinya proses evaporasi dibandingkan air yang ada di
tempat lain dalam suatu DAS. Akibatnya bila daun basah, proses intersepsi akan
berlangsung beberapa kali lebih cepat daripada transpirasi dari permukaan vegetasi
yang tidak terlalu basah.
Besarnya air hujan terintersepsi
merupakan fungsi dari : 1) karakteristik hujan, 2) jenis, umur dan kerapatan
tegakan, dan 3) musim pada yang bersangkutan. Umumnya antara 10 sampai 20% dari
total jumlah hujan akan terintersepsi oleh suatu tegakan pada musim
pertumbuhan. Pada vegetasi yang sangat rapat kehilangan air hujan oleh proses
intersepsi dapat mencapai 25-35%.
Intersepsi umumnya besar pada hujan tidak
lebat.Sejalan dengan bertambah besarnya curah hujan, maka jumlah air
terintersepsi menjadi semakin kecil. Sebagai contoh, di daerah iklim sedang
Amerika Utara pada curah hujan <
0,25 mm air terintersepsi mencapai 100%. Sementara pada curah hujan > 1 mm
air hujan terintersepsi berkurang menjadi antara 10 hingga 40% (Kittredge,
1948). Masih di daerah beriklim sedang, pada tingkat kerapatan vegetasi
berdaun jarum yang berbeda:
masing-masing dengan jarak tanam 2 x 2 , 4 x 4 m, 6 x 6 m, dan 8 x 8 m
memberikan hasil intersepsi hujan sebesar 33%, 24%, 15% dan 9% dari curah hujan
total (Teklehaimanot dan Jarvis, 1991).
Tampak
bahwa semakin rapat, jumlah air hujan yang diuapkan kembali ke atmosfer menjadi
semakin besr. Hal ini erat kaitannya dengan faktor luas/kerapatan bidang
penguapan, yaitu tajuk vegetasi atau dengan kata lain, besarnya intersepsi akan
ditentukan oleh angka indeks luas tajuk (leas
areas indeks, LAI). Berdasarkan prinsip ini maka besarnya intersepsi hujan
di hutan alam tidak dipanen (unlogged
forest) akan berbeda dengan besarnya intersepsi pada hutan alam yang telah
mengalami pembalakan (logged forest).
Perbedaan besarnya intersepsi tersebut disebabkan oleh berkurangnya angka
indeks luas tajuk (LAI) akibat
pembalakan, dan dengan demikian menurunkan besarnya kapasitas tampungan air
pada permukaan tajuk vegetasi (canopy
storage capacity S).
Besarnya intersepsi hujan suatu
vegetasi juga dipengaruhi oleh umur tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam
perkembangannya, bagian-bagian tertentu vegetasi akan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan bagian-bagian vegetasi yang mempunyai pengaruh
terhadap besar-kecilnya intersepsi adalah perkembangan kerapatan/luas tajuk,
batang dan cabang vegetasi.Semakin luas atau rapat tajuk vegetasi semakin
banyak air hujan yang dapat ditahan sementara untuk kemudian diuapkan kembali
ke atmosfer.Demikian juga halnya dengan jumlah percabangan pohon. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin tua, luas dan
kerapatan tajuk kebanyakan vegetasi akan semakin besar. Jumlah
percabangan pohon juga menjadi semakin banyak.Oleh kombinasi kedua faktor
tersebut menyebabkan jumlah air hujan yang dapat ditahan sementara oleh
vegetasi tersebut menjadi semakin besar sehingga kesempatan untuk terjadinya
penguapan juga menjadi besar.
Hasil
penelitian yang menghubungkan umur tegakan dengan perubahan besarnya intersepsi
yang terjadi menunjukan bahwa semakin tua tegakan jumlah intersepsi air hujan
menjadi semakin besar. Dari hasil penelitiannya di Lembang, Jawa Barat,
Pudjiharta dan Sallata (1985) melaporkan bahwa pada tegakan Pinus merkusi dengan umur yang berbeda,
masing-masing tegakan dengan umur 10, 15 dan 20 tahun jumlah intersepsi yang
dihasilkan selama 93 kejadian hari hujan 16%, 22%, dan 31%. Contoh lain tentang
hubungan antara besarnya intersepsi dengan luas permukaan tajuk dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Di daerah hutan hujan tropis,
persentase intersepsi hujan terhadap curah hujan total adalah bervariasi.
Calder et al (1986) dalam penelitiannya di hutan Jawa Barat melaporkan bahwa
21% dari total air hujan terintersepsi oleh tajuk vegetasi hutan campuran.
Sementara dalam penelitiannya proses-proses hidrologi, Sinun et al (1992) dari
hutan hujan tropis Sabah, Malaysia dan Rao (1987) dari hutan tropis India
melaporkan angka intersepsi hujan masing-masing sebesar 17% dari 31% dari total
curah hujan. Hasil penelitian yang lebih akhir menunjukan bahwa besarnya air
hujan yang terintersepsi oleh tajuk hutan hujan tropis tidak terganggu di
Kalimantan Tengah adalah 11% (Asdak, 1997, Tabel 3.1).
Angka
11% tersebut sediikit lebih besar daripada hasil intersepsi air hujan di hutam
Amazon yan dilaporkan oleh Llyod et al. (1988) yaitu 8,9% dan jauh lebih kecil
daripada angka intersepsi yang dilaporkan oleh Sinun et al. (1992) dari Sabah,
Malaysia. Dari hutan tropis Kenya Jackson (1975) melaporkan bahwa pada hujan
tidak lebat angka intersepsi dapat menjapai 90% dari total hujan, sementara
pada hujan sangat lebat angka tersebut hanya mencapai 5%. Besarnya variabilitas
intersepsi air hujan oleh tajuk hutan seperti tersebut diatas membuktikan bahwa
tidak ada angka standar untuk menunjukkan besarnya intersepsi karena besarnya
intersepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan vegetasi setempat serta
oleh metoda penelitianm yang dilakukan.
Tabel 3.1Perbandingan
antara curah hujan total, Pg, air lolos, Tf,
air aliran batang, Sf, dan intersepsi hujan,
I, (mm) di hutan tidak terganggu dan
hutan bekas tebangan TPTI di Kalimantan Tengah (Asdak et al., 1998)
Variabel
|
Unit
|
Hutan
tidak terganggu ¹⁾
|
Rata-rata
³⁾
|
Hutan
Tebangan ²⁾
|
||
Tajuk
rapat
|
Tajuk
sedang
|
Tanpa
tajuk
|
||||
Pg
|
Mm
|
2199
|
3563
|
3563
|
3563
|
3563
|
Tf
|
Mm
(%)
|
1918
(87,2)
|
3334
(93,5)
|
3027
(85,0)
|
3403
(95,0)
|
3539
(99,0)
|
St
|
Mm
(%)
|
30
(1,4)
|
9,6
(0,3)
|
-
|
-
|
-
|
I
|
Mm
(%)
|
251
(11,4)
|
219
(6,2)
|
536
(15,0)
|
160
(4,5)
|
24
(0,7)
|
Catatan : ¹⁾ Pengukuran
selama 6 bulan ( jumlah kejadian hujan = 55 ).
²⁾
Pengukuran selama satu tahun ( jumlah kejadian hujan = 95 ).
³⁾ Rata-rata dari tiga penutupan tajuk yang
berbeda.
Tabel 3.1
menunjukan bahwa pembalakan hutan dengan sistem Tebang Pilih dan Tanam
Indonesia ( TPTI ) di Kalimantan Tengah telah menurunkan besarnya intersepsi
hujan dari 11% di hutan tidak terganggu menjadi 6% dari curah hujan total di
daerah tebangan. Tabel 3.1 juga menunjukan bahwa aliran batang hanya merupakan
bagian kecil saja dari keseluruhan partisi curah hujan yang jatuh di atas
permukaan tajuk vegetasi.
Dalam
hal ini, 1,4% dari curah hujan total di hutan tidak terganggu, dan turun
menjadi 0,3% akibat adanya pembalakan (logging).
Penurunan angka air lolos ini berkaitan dengan berkurangnya basal area dari
38,6 menjadi 13,8 m²/ha akibat pembalakan. Hal lain yang menarik untuk
diamati dari tabel tersebut diatas adalah, pertama, di lokasi pembalakan,
besarnya intersepsi meningkat dengan bertambah rapatnya tajuk vegetasi, dalam
hal ini dari 0,7% di lokasi tajuk, meningkat menjadi 4,5% dan 15% masing-masing
di lokasi dengan penutupan tajuk sedang dan penutupan tajuk rapat. Keadaan yang
sebaliknya terjadi dengan besarnya air lolos, yaitu 99% di lokasi tanpa tajuk,
turun menjadi 95% dan 85% masing-masing di lokasi dengan penutupan tajuk sedang
dan rapat.
Dengan
kata lain, besarnya intersepsi/air lolos merupakan fungsi dari kondisi
penutupan tajuk vegetasi seperti tampak pada Gambar 3.1. Gambar tersebut
menunjukan bahwa semakin kecil penutupan tajuk vegetasi sebagai akibat
pembalakan hutan, semakin besar air lolos yang akan sampai ke permukaan tanah,
dan dengan demikian, menurunkan jumlah air terintersepsi yang pada gilirannya,
akan meningkatkan debit aliran.
Apabila kita bandingkan antara angka
intersepsi hujan di hutan tidak terganggu dengan angka intersepsi yang
berlangsung di lokasi bekas tebangan dengan kondisi penutupan tajuk rapat,
tampak bahwa besarnya intersepsi di lokasi bekas tebangan dengan penutupan
tajuk rapat lebih besar daripada intersepsi yang berlangsung di hutan tidak
terganggu ( 15% di hutan bekas tebangan, sementara di hutan tidak terganggu
hanya 11% ).
Seharusnya
besarnya intersepsi di kedua lokasi tersebut tidak akan berbeda banyak
mengingat keduanya memiliki penutupan tajuk yang kurang lebih sama. Adanya
perbedaan besarnya intersepsi di kedua lokasi tersebut kemungkinan disebabkan
karena di lokasi bekas tebangan dengan penutupan tajuk rapat tersebut kondisi
vegetasi setelah penebangan menjadi lebih rapat dan pendek ( pertumbuhan
vegetasi baru ), terutama di tempat-tempat dengan kemiringan lereng besar.
Tampaknya, dengan adanya kombinasi dominasi vegetasi yang lebih rapat dan oleh
besarnya pengaruh turbulenceakibat
penebangan telah meningkatkan besarnya intersepsi di daerah bekas tebangan
dengan penutupan tajuk rapat.
Sifat alamiah tajuk vegetasi
merupakan unsure penting lain dalam mengendalikan terjadinya proses intersepsi.
Ada perbedaan mengenai besarnya intersepsi yang berlangsung di daerah perkotaan
yang ditandai dengan banyaknya bangunan kedap air serta kekasaran bidang
permukaan yang relative besar, kesempatan air hujan tertampung di bidang
permukaan tersebut berkisar antara 2-5 mm ( Dunne dan Leopold , 1978 ).
Besarnya suhu udara di daerah perkotaan telah meningkatkan laju evaporasi
sehingga evaporasi di daerah perkotaan lebih besar daripada daerah pedesaan
dan, dengan demikian, juga berlaku untuk intersepsi.Namun demikian, belum
banyak data yang menunjukkan besarnya intersepsi di daerah perkotaan.
Gambar 3.1 Hubungan
antara air lolos, Tf, dan curah hujan, Pg,
untuk kondisi penutupan tajuk yang berbeda di lokasi pembalakan hutan.
Persamaan-persamaan regresi untuk
tanpa
penutupan tajuk ( ------------ ) : Tf = 0,04 + 1,01 Pg (r2 =
0,99)
(diadaptasi
dari Asdak et al., 1998)
Di daerah
yang di dominasi oleh vegetasi (pedesaan), faktor-faktor pengendali besarnya
intersepsi adalah tipe, kerapatan, dan umur vegetasi yang dominan di daerah
tersebut.Jenis vegetasi juga berpengaruh terhadap besarnya intersepsi karena
ada jenis vegetasi tertentu yang mempunyai intersepsi berbeda dari musim ke
musim.
Musim
pertumbuhan memberikan nilai intersepsi lebih besar daripada musim tidak aktif
(dormant season). Demikian pula ada
jenis vegetasi yang mempunyai intersepsi relative sama sepanjang tahun (evergreen species). Perbedaan besarnya
intersepsi juga ditentukan oleh bentuk komunitas vegetasi. Tegakan pohon,
semak-belukar, padang rumput, dan tanaman pertanian mempunyai porsi intersepsi
yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin rapat tajuk vegetasi,
semakin besar intersepsi yang terjadi.Kerapatan dalam
hal ini termasuk tajuk-tajuk yang berada di bawah tajuk utama.
Besarnya intersepsi pada tanaman
pertanian bervariasi tergantung pada jenis tanaman pangan, jarak tanam, dan
lama berlangsungnya periode pertumbuhan relative terhadap saat terjadinya
hujan.Faktor berlangsungnya periode pertumbuhan tanaman mempunyai pengaruh
besar terhadap besar kecilnya intersepsi yang terjadi.Lull (1964) melaporkan
bahwa besarnya intersepsi dari berbagai jenis tanaman bervariasi dan tampak
dipengaruhi oleh periode pertumbuhan masing-masing tanaman tersebut.Tabel 3.2
menunjukkan pengaruh musim pertumbuhan tanaman terhadap besarnya intersepsi
hujan.Tabel 3.2 menunjukkan bahwa besarnya intersepsi menurun dengan kurang
aktifnya masa pertumbuhan tanaman.Hal ini berlaku untuk semua jenis tanaman
yang diteliti.
Di daerah berhutan, untuk mengetahui
besarnya intersepsi, diperlukan pemahaman tentang mekanisme terjadinya
intersepsi oleh seresah. Kemampuan seresah untuk menahan air dan menguapkan
kembali air tertahan tersebut akan ditentukan oleh ketebalan seresah dan
karakteristik seresah dalam “mengikat” air hujan (Helvery dan Patric, 1965).
Tabel 3.2Besarnya
intersepsi hujan dari berbagai jenis tanaman (Lull, 1964)
Jenis
Tanaman
|
Periode
pertumbuhan cepat
|
Intersepsi
selama periode pertumbuhan lambat (%)
|
||
Curah
hujan (mm)
|
Intersepsi
(mm)
|
Intersepsi
(%)
|
||
Alfalfa
|
275
|
98
|
36
|
22
|
Jagung
|
181
|
28
|
16
|
3
|
Kedelai
|
158
|
23
|
15
|
9
|
Gandum
|
171
|
12
|
7
|
3
|
3.1.2 Pengukuran Intersepsi
Pengukuran besarnya intersepsi pada
skala tajuk vegetasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan
neraca volume (volume balance approach)
dan pendekatan neraca energy (energy
balance approach). Cara pendekatan yang pertama adalah cara tradisional
yang paling umum dilakukan yaitu dengan mengukur curah hujan, aliran batang,
dan air lolos. Intersepsi adalah beda antara besarnya curah hujan total dan
curah hujan bersih (aliran batang + air lolos).
Cara
yang kedua adalah perhitungan besarnya intersepsi dengan memanfaatkan persamaan
matematis dengan masukan parameter-parameter meteorology dan struktur tajuk
serta tegakan yang diperoleh dari pengukuran di lapangan.Persamaan yang umum
digunakan adalah persamaan Penman (Penman, 1963). Berikut ini adalah uraian cara
perhitungan intersepsi dengan menggunakan pendekatan neraca volume.
Curah hujan harian atau mingguan
adalah komponen pertama yang harus diperoleh dengan menggunakan alat penakar
hujan (“standar” atau otomatis) di tempat terbuka (ketinggian vegetasi atau
bangunan di sekitar alat penakar hujan tidak boleh membentuk sudut lebih dari
45°
dari tempat alat penakar hujan).Apabila di daerah penelitian tidak terdapat
tempat terbuka (misalnya di hutan alam), maka perlu didirikan menara sehingga
alat penakar hujan dapat ditempatkan di atas tajuk hutan atau mencari tempat
terbuka yang memungkinkan untuk pengukuran curah hujan.
Jarak
alat penakar hujan dari tempat pengukuran air lolos dan aliran batang (pada
kondisi yang umum) sebaiknya tidak terlalu jauh mengingat variabilitas spasial
curah hujan di daerah tropis adalah besar. Apabila di tempat tersebut (hutan
alam) tidak memungkinkan untuk memasang menara atau tidak ada tempat terbuka di
dekat tempat pengukuran air lolos dan aliran batang maka dapat memanfaatkan stasiun
penakar hujan di tempat lain sepanjang perbedaan regim curah hujan tidak
terlalu besar. Pada cara yang terakhir ini akurasi hasil yang diperoleh kurang
memadai.
Besarnya air lolos dapat diperoleh
dengan cara memasang talang-talang penampung air hujan (troughs) di bawah pohon yang ditempatkan secara acak. Talang
tersebut berebentuk V dengan panjang 140 cm dan lebar 10 cm. Air yang
tertampung di aliran bak penampung. Air lolos kemudian diperoleh dengan cara
mengukur volume air yang tertampung tersebut dibagi dengan luas penampang
talang. Jumlah talang yang digunakan tergantung pada tingkat ketelitian yang
dikehendaki.
Secara
statistic, semakin banyak jumlah alat ukur yang digunakan dalam penelitian,
semakin kecil kesalahan baku dari nilai tengah populasi. Dalam penelitian
intersepsi hujan di hutan Akasia di Jatiluhur, Ambar (1986) menggunakan 8-10
buah talang penampung air hujan. Cara lain yang lebih umum dilakukan adalah
dengan menggunakan kombinasi botol atau jerigen kecil yang dilengkapi dengan
corong. Ukuran botol untuk daerah tropis dengan intensitas hujan besar adalah
antara 3-5 liter (tergantung pada jumlah kejadian hujan untuk setiap kali
pengukuran) dan corong dengan diameter 18-20 cm. Untuk mendapatkan data air
lolos yang baik dapat dilakukan dengan metoda pengambilan sampel secara acak
bertingkat (stratified random sampling).
Dalam
teknik pengambilan sampel acak bertingkat, populasi dikelompokkan menjadi
satuan-satuan atau stratum berdasarkan karakteristik yang kurang lebih seragam
yang dijumpai dalam populasi tersebut.Setiap satuan atau stratum dalam populasi
tersebut kemudian dipilih sebagai sampel dan kombinasi dari estimasi seluruh
sampel dipakai sebagai estimasi populasi yang menjadi kajian. Sebagai contoh,
Asdak (1997) menggunakan plot penelitian dengan ukuran 100 x 40 m dibagi dalam
lima garis parallel (panjang 100 m; jarak antar garis 10 m) dimana setiap garis
mempunyai interval 1 m sehingga membentuk grid
1 x 10 m atau diperoleh 505 titik-titik pengamatan.
Jumlah sampel untuk pengamatan air lolos,
katakanlah 50 sampel (botol dan corong) kemudian ditempatkan secara acak
bertingkat (setiap tingkat atau stratumditentukan berdasarkan kemiripan
karakteristik yang dijumpai dalam populasi). Setiap sampel dipindahkan dari
satu titik pengamatan ke titik pengamatan yang lain setiap satu minggu atau
setiap kejadian hujan. Dengan demikian selama waktu tertentu, seluruh 505
titik-titik pengamatan tersebut diatas pernah sekali atau lebih (tergantung
pada penarikan secara acak) dijadikan sebagai titik pengamatan.
Hasil
penelitian intersepsi hujan yang diperoleh dengan menggunakan strategi
pengambilan sampel seperti tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Dengan menggunakan metoda penelitian seperti tersebut diatas, Llyod dan Marques
(1988) dari hutan Amazon melaporkan bahwa kesalahan baku yang diperoleh kuranf
lebih 5%. Dari hasil penelitian mereka juga dapat ditentukan standar untuk
menentukan tingkat kesalahan baku yang diperkirakan akan terjadi untuk jumlah
dan cara penempatan sampel tertentu, yaitu dengan menggunakan pedoman seperti
tersebut pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 menunjukkan bahwa untuk
memprakirakan besarnya hariga rata-rata air lolos di hutan tropis dataran
rendah pada taraf keyakinan 10%, diperlukan sekitar empat puluh buah alat ukur
air lolos (botol dan corong) yang ditempatkan secara tetap di satu tempat.
Apabila penempatan alat ukur air lolos dilakukan dengan cara dipindahkan secara
acak (randomly relocated) setiap kali
selesai pengukuran, maka untuk mendapatkan tingkat kesalahan baku (< 5%)
yang sama dengan pengukuran dengan menggunakan 40 alat ukur, dengan cara
relokasi ini hanya diperlukan 10 alat ukur.
Gambar 3.2 Kemungkinan
kesalahan baku dari harga rata-rata air lolos untuk hutan hujan tropis Amazon,
Brasil. Grafik dapat dimanfaatkan untuk menentukan jumlah alat ukur air lolos
yang diperlukan untuk tingkat kesalahan baku yang diinginkan (Lloyd dan
Marques, 1988)
Cara pengukuran air lolos yang lebih
terpadu ialah dengan menggunakan alat yang disebut dengan plastic-sheet gauge atau dengan memasang lembaran plastik penampung
air lolos dan sekaligus menampung air aliran batang yang ditempatkan di bawah
tegakan hutan. Ukuran plastik yang digunakan umumnya adalah 14 x 4 m, dan
dipasang ± 1 m di atas permukaan tanah.
Pemasangan
plastik tersebut diatur sedemikian rupa sehingga air lolos di atas plastik
tersebut dapat tertampung dan bersama-sama dengan air aliran batang dari
pohon-pohon sampel mengalir menuju ke bak penampungan atau dialirkan melalui
alat tipping bucked, alat penakar
hujan yang bekerja secara automatis. Keuntungan teknik yang terakhir ini adalah
air lolos dan air aliran batang dapat diperoleh sekaligus, sementara
kelemahannya adalah apabila alat bocor atau terjadi kerusakan lainnya, maka
risiko kehilangan data menjadi besar.
Dalam penelitian intersepsi hujan
yang paling mutakhir biasanya pengukuran air lolos dilakukan dengan cara
kombinasi botol (dan corong) dan alat tipping
bucked. Alat tipping bucked
(dapat mencatat besarnya air lolos yang jatuh di bawah tegakan hutan) ditempatkan
secara acak dan tidak direlokasi. Sementara botol (dan corong) direlokasi
secara acak setiap minggu atau sekali setiap satu kejadian hujan.
Dengan
ditempatkan alat ukur air lolos secara permanen (alat tipping bucked) dimaksudkan untuk mengertahui besarnya perbedaan
air lolos antara dua plot dengan perlakuan berbeda dan untuk keperluan
pemodelan intersepsi hujan. Sedang alat ukur air lolos yang harus direlokasi
setiap satu kejadian hujan (botol+corong) dimaksudkan untuk mengetahui besarnya
variabilitas spasial dan temporal air lolos dalam suatu plot (Lloyd dan
Marques, 1988; Asdak, 1997).
Aliran batang diperoleh dengan cara
memasang lempengan seng atau plastik melingkar atau melilit batang pohon agar
aliran yang melalui percabangan dan batang tersebut keseluruhannya dapat
dialirkan dan ditampung ke dalam bak penampung sehingga dapat diukur volumenya
atau langsung dicatat melalui tipping
bucked.
Ukuran
lebar plastik atau seng yang digunakan adalah antara 20-30 cm. Pada salah satu
sisi plastik atau seng ini dibuat saluran yang akan mengalirkan air yang
tertampung tersebut ke bak penampungan atau alat tipping bucked. Cara lain yang bisa dilakukan untuk mengukur
besarnya aliran batang adalah dengan menggunakan pipa plastik yang dibelah
menjadi dua. Salah satu belahan pipa plastik tersebut kemudian dililitkan pada
batang pohon. Salah satu cara untuk melekatkan pipa tersebut ke batang pohon
adalah dengan menggunakan paku yang kemudian dilapisi bahan perekat (lem khusus
atau getah) agar aliran air dari batang bagian atas dapat masuk kec dalam
belahan pipa plastik yang dipasang melingkar batang tersebut.
Pemilihan pohon yang akan dijadikan
sampel aliran batang diusahakan mewakili hutan yang diteliti baik dalam hal
sebaran diameter maupun karakteristik permukaan batang pohon. Dalam hutan alam
tropis umumnya diameter paling kecil yang dijadikan pohon sampel adalah mulai
10 cm.
Persamaan matematik dan Gambar 3.3
seperti tersebut di bawah ini menunjukkan cara pengukuran dan perhitungan
besarnya intersepsi yang terjadi dalam suatu plot percobaan :
Ic = Pg – (Tf + Sf)
Ic = intersepsi tajuk (mm); Pg = curah hujan (mm)
Tf = aliran batang (mm)
Intersepsi total
(I) = Ic + I₁
I₁ = Intersepsi seresah; Jumlah air
hujan yang sampai di lantai hujan = Tf + Sf
Curah hujan bersih
(Pn) = Tf + Sf - I₁
Gambar 3.3
Pengukuran intersepsi tajuk (Ic) dan intersepsi lantai hutan (If). Pg = curah hujan total, Tf = air lolos, dan Sf = aliran batang, RG = kedudukan alat penakar hujan, Pn = net
precipitation
Dalam kasus proses intersepsi
tegakan hutan dari mulai tegakan muda sampai menjadi tegakan hutan tua, maka
berlaku hal-hal tersebut di bawah ini :
1.
Air lolos (Tf) akan semakin berkurang
sejalan dengan bertambah rapatnya tajuk tegakan hutan.
2.
Aliran batang (Sf) akan semakin bertambah
tapi tidak terlalu banyak dari aliran batang sebelumnya.
3.
Kapasitas tamping permukaan tajuk (atas dan bawah) dan seresah, dalam hubungan
dengan bidang permukaan tajuk, juga akan meningkat.
Kegunaan intersepsi dalam bidang
hidrologi tergantung pada karakteristik iklim, fisik, dan vegetasi. Pada
kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi dianggap penting untuk
menentukan besarnya curah hujan bersih (net
precipitation) atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air
infiltrasi, air larian, aliran air bawah permukaan, atau aliran air tanah.
Besarnya curah hujan bersih adalah curah hujan total dikurangi intersepsi total
atau penjumlahan antara air aliran batang dan air lolos.
Dalam percobaan dengan menggunakan
plot, besarnya curah hujan bersih dapat ditentukan dengan mudah.Akan tetapi
menentukan besarnya curah hujan bersih dari suatu wilayah DAS dapat sangat
rumit. Variabilitas spasial tipe tajuk, stratifikasi tajuk, dan kapasitas
tamping seresah akan sangat mempengaruhi besarnya intersepsi total di tempat
tersebut.
3.1.3 Interepsi dan Neraca Air
Peranan interepsi hujan oleh
vegetasi (hutan) dalam neraca air dari suatu DAS sekarang telah lebih dipahami
oleh para pakar hidrologi hutan. Hal ini terutama berkaitan dengan telah
dikuasainya pemahaman mekanisme berlangsungnya proses-proses evaporasi dan
transpirasi yang terjadi dalam
masyarakat vegetasi.
Dalam penelitian hidrologi hutan
dikenal salah satu hipotesis yang menekankan bahwa “hilang” nya sebagian air
hujan oleh proses intersepsi pada prinsipnya merupakan proses evaporasi, dan
karena dalam proses ini hanya tersedia sejumlah energi (matahari) dalam periode
waktu tertentu, maka energy tersebut akan dimanfaatkan untuk berlangsungnya
penguapan air dari dalam vegetasi (transpirasi) atau untuk berlangsungnya
penguapan air hujan dari permukaan daun (intersepsi).
Hasil
penelitian para pakar hidrologi hutan menunjukan bahwa intersepsi memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap jumlah air hujan yang akan menjadi air tanah
(infiltrasi) dan atau air larian. Sementara hasil penelitian dan beberapa
daerah hutan tropis Amazon, Afrika, dan Asia menunjukan besarnya air hujan yang
terintersepsi oleh vegetasi hutan
bervariasi antara 10-35% dari hujan total yang turun didaerah tersebut (Calder
et al., 1986: Lloyd et al., 1988; Sinun et al., 1998).
Hal yang tampaknya menimbulkan tanda
tanya besar dan perlu mendapat kanjawaban yang serius adalah apakah evaporasi
dari permukaan vegetasi basah dapat juga berlangsung pada tingkat laju yang
lebih tinggi dari pada apabila evaporasi tersebut berlangsung pada permukaan
vegetasi yang tidak basah.
Hal
lain yang juga memerlukan kejelasan adalah apakah evavorasi juga terjadi pada
vegetasi yang telah mati atau kondisi tidak aktif (dormant) serta pada malam
hari ketika laju transpirasi berkurang atau berhenti sama sekali. Jawaban yang
tegas atas permasalahan ini tampaknya memerlukan penjelasan yang berkaitan
dengan sumber energi yang mendorong berlangsungnya proses evaporasi. Penelitian
prroses-proses hidrologi yang mengarah pada jawaban atas pertanyaan tersebut
diatas, dengan demikian, perlu mendapatkan prioritas.
Bukti-bukti ilmiah yang telah
dikumpulkan sejak 1960, terutama dari hutan di daerah beriklim sedang,
menunjukan bahwa laju intersepsi jauh lebih cepat dari pada laju transpirasi,
dan oleh karenannya, kehilangan air oleh proses intersepsi merupakan bentuk
kehilangan air nyata dalam sistem neraca air suatu DAS (Ward dan Robinson,
1990).
Hasil
peneliian yang lebih realistis dilaporkan oleh Rutter (1963, 1967), Helvey
(1967), dan Leyton et al. (1967) yang menunjukan bahwa selama musim dingin
kehilangan air oleh proses intersepsi telah melebihi laju transpirsi di tempat
dan llingkungan yang sama. Bukti lain bahwa besarnya intersepsi perlu
dipertimbangkan dalam analisis neraca air adalah dari hasil penelitian Hewlett
dan Hibbert (1961) dan Hibbert (1967) di DAS dengan skala kecil di
Amerika Utara yang menunjukan bahwa terjadi kenaikan nyata hasil air (water
yield) sebagai akibat dari pengurangan vegetasi hutan. Sementara pada keadaan
yang lain, telah terjadi penurunan hasil air sebagai akibat perubahan tata guna
lahan dari hutan berdaun lebar menjadi hutan pinus. Kedua keadaan tersebut
diatas merupakan pengaruh dari adanya perubahan besarnya intersepsi di DAS yang
bersangkutan
Kombinasi temuan ilmuan dan teori
yang telah beredar menunjukan bahwa laju penguapan kembali air yang bertahan
pada permukaan vegetasi (intersepsi) ke atmosfer jauh lebih tinggi dari pada
proses penguapan air dari dalam vegetasi
(transpirasi) untuk jenis vegetasi dari lingkungan yang sama. Dalam hal ini, laju kecepatan intersepsi 2,5lebih
besar dari pada laju transpirasi (singh dan Szeicz, 1979, Steward dan Thom,
1973).
Lebih
lanjut, hasil penelitian Pearce et al. (1980) menunjukan bahwa besarnya
intersepsi akan meningkat ketika proposi lama waktu hujan di malam hari
terhadap jumlah hujan juga meningkat. Hal ini berarti, di kebanyakan daerah
dengan curah hujan besar, dimana paling sedikit setengah dari jumlah curah
hujan total jauh pada malam hari,
peranan intersepsi terhadap perubahan neraca air suatu DAS adalah faktor
kapasitas tampung tajuk vegetasi. Semakin besar kapasitas tamping tajuk,
semakin besar kemungkinan untuk berlangsungnya proses intersepsi tajuk
vegetasi, dan dengan demikian,
meningkatkan jumlah “kehilangan” air hujan yang seharusnya sampai ke permukaan
tanah.
Penjelasan tentang mengapa proses
evaporasi yang berlansung di permukaan tajuk vegetasi basah, terutama vegetasi
hutan. Lebih cepat dari pada proses evaporasi yang terjadi pada permukaan tajuk
kering dapat diterangkan dalam kaitannya dengan resis tensi lapisan batas
permukaan vegetasi (boundary layer resistence) (Ward dan Robinson, 1990).
Resis
tensi lapisan batas permukaan vegetasi ini merupakan bentuk resistensi
fisiologis vegetasi yang berlangsung secara alamiah pada setiap permukaan tajuk
vegetasi, terutama untuk menahan transpor air melalui proses transpirasi.
Bentuk resistensi yang berlansung pada permukaan tajuk vegetasi dikenal sebagai
resistensi aerodinamika (aerodynamic resistance) yang adalah ukuran resistensi
oleh permukaan tajuk vegetasi terhadap transport uap air dari permukaan tajuk
vegetasi ke atmosfer di sekitar vefgetasi tersebut. Pada keadaan vegetasi
kering, tajuk hutan kemungkinan hanya akan memberikan resistensi sedikit lebih
tinggi daripada resistensi yang ada pada permukaan vegetasi rumput atau jenis
vegetasi semak lainnya.
Tetapi, ketika permukaan tajuk vegetasi
dalam keadaann basah, resistensi yang terjadi pada permukaan vegetasi tersebut
menjadi jauh berkurang, bahkan dapat mencapai nol atau tidak ada resistensi
sama sekali (Calder, 1979). Resistensi aerodinamika pada prinsipnya tergantung
pada kekasaran permukaan tajuk vegetasi dan pada umumnya lebih besar untuk
vegetasi hutan dibandingkan dengan vegetasi rumput atau jenis vegetasi
semak.Dengan demikian, resistensi terhadap tranport uap air adalah lebih rendah untuk
permukaan vegetasi basah dan juga rendah untuk vegetasi hutan daripada vegetasi
rumput atau semak belukar.
Tambahan energy yang diperlukan
untuk mempertahankan laju evaporasi agar tetap tinggi melalui peranan dominan
resistensi aerodinamika untuk vegetasi dengan permukaan basah tampaknya berasal
dari kombinasi energi adveksi dan modifikasi keseimbangan radiasi matahari.
Rutter (1971) menunjukkan bahwa besarnya proses evaporasi pada tajuk vegetasi
basah kemungkinan tidak dikendalikan oleh faktor keseimbangan radiasi matahari
melainkan lebih ditentukan oleh karena permukaan vegetasi yang basah tersebut
berfungsi sebagai penampang energy adveksi yang berasal dari atmosfer.
Adalah
jelas ketika air yang ada di permukaan tajuk vegetasi tersebut menguap, suhu
pada permukaan tajuk menjadi lebih rendah daripada suhu udara di sekitar tajuk
vegetasi. Beda suhu antara dua tempat tersebut kemudian dimanfaatkan untuk
menghasilkan aliran panas untuk memasok kekurangan energi yang diperlukan untuk
proses penguapan. Dengan demikiran, dapat dikatakan bahwa hasil penelitian para
pakar fisiologi lingkungan mengisyarakat bahwa energy adveksi dapat diturunkan
dari kandungan panas yang dihasilkan oleh adanya gerakan uap air di atas
permukaan tajuk vegetasi (Stewart, 1977) atau dari panas tersimpan di udara
sekitar tajuk vegetasi dan dalam vegetasi itu sendiri (Moore, 1976).
Dukungan penyataan bahwa peranaan
energy adveksi dan energy tersimpan adalah besar untuk berlangsungnya proses
evaporasi juga diperoleh dari hasil penelitian, antara lain, Pearce et al.
(1980) dan Kelliher et al. (1992), yang menegaskan bahwa laju evaporasi pada
malam hari adalah besar. Sementara tidak ditemukan adanya sumber energy lain
pada saat tersebut. Di hutan tropis Kalimantan, laju evaporasi air hujan yang
“tertangkap” tajuk vegetasi pada malam hari kurang-lebih sama dengan laju
evaporasi di tempat yang sama pada siang hari untuk 20 kejadian hujan dari
keseluruhan 55 kejadian hujan (Asdak, 1997). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Asdak et al (1998) di hutan huja tropis Kalimantan juga menunjukkan bahwa
evaporasi dari tajuk vegetasi yang basah lebih disebabkan oleh energy adveksi
daripada oleh energy radiasi.
Hal
ini ada kemungkinan disebabkan oleh tingginya variabilitas curah hujan yang
berlangsung di hutan hujan tropis seperti Kalimantan, sehingga bentang lahan
yang ada di wilayah tersebut pada dasarnya merupakan mosaic wilayah-wilayah
tegakan hutan basah (terjadi hujan) dan kering (tidak ada
hujan).Wilayah-wilayah tegakan hutan basah dan kering ini seringkali hanya
berjarak beberapa kilometer antara satu dengan lainnya.
Sebagai
contoh, hasil penelitian di hutan alam tropis yang tidak terganggu di
Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa energy adveksi menyumbang terjadinya
evaporasi sebesar 0,8 mm/jam (75%) dari keseluruhan laju evaporasi dari tegakan
hutan basah sebesar 0,50 mm/jam, sementara energy radiasi hanya memberikan sumbangan
sebesar 0,12 mm/jam (25%). Proporsi sumbangan energi antara adveksi dan radiasi
untuk terjadinya evaporasi di lokasi pembalakan juga kurang-lebih sama
berlangsung di hutan tidak terganggu. Secara keseluruhan, perbandingan proporsi
energi digunakan untuk berlangsungnya evaporasi dari permukaan tajuk basah
(intersepsi) di hutan yang tidak terganggu adalah seperti tampak pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4
Perbandingan antara proporsi energi radiasi dan energy adveksi yang digunakan
untuk proses evaporasi air hujan yang tertahan di permukaan tajuk vegetasi di
hutan tidak terganggu di Kalimantan Tengah (diadaptasi dari Asdak et al., 1998)
Gambar 3.4
menunjukkan bahwa pada laju intersepsi rendah, atau pada permulaan terjadinya
hujan, energy radiasi memberikan sumbangan besar untuk berlangsungnya
intersepsi hujan karena pada saat-saat tersebut radiasi matahari datang masih
efektif dalam proses berlangsungnya evaporasi.
Selanjutnya,
ketika laju intersepsi meningkat, oleh kombinasi kecilnya angka resistensi
aerodinamik (rₐ) dan berangsur-angsur
menurunnya jumlah radiasi matahari sebagai akibat meningkatnya jumlah awan,
telah meyebabkan energi adveksi sebagai penyumbang utama untuk berlangsungnya
intersepsi hujan di daerah tersebut. Hasil penelitian tersebut diatas yang
menyimpulkan bahwa energy adveksi lokal dan bukan energi radiasi yang merupakan
the driving force untuk
berlangsungnya proses intersepsi sejalan dengan hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan di beberapa tempat (antara lain, Stewart, 1997; Pearce et al.,
1980; Kelliher et al., 1992).
Pendapat lain tentang peranan
intersepsi terhadap neraca air berkaitan dengan kenyataan bahwa dalam keadaan
tertentu, interkasi antara air yang menguap (intersepsi vertikan) dengan air
yang dihasilkan (intersepsi horizontal, yaitu intersepsi embun oleh hutan)
kemungkinan akan memberikan tambahan hasil air DAS yang menjadi kajian. Hal ini
tampaknya akan berlaku untuk daerah-daerah berhutan yang mempunyai topografi
bergelombang, dimana kabut atau awab banyak dijumpai.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa
proses intersepsi dapat memberikan dampak dengan skala bervariasi terhadap
keadaan neraca air suatu DAS karena adanya defisit kelembaban lokal sebagai
akibat penurun jumlah presipitasi dan air lolos yang sampai ke permukaan tanah
dan adanya beda ukuran butiran presipitasi yang jatuh ke permukaan tanah dan
adanya beda ukuran butiran presipitasi yang jatuh ke permukaan tajuk dengan
ukuran butiran air lolos.
3.2 EVAPORASI DAN TRANSPIRASI
Mengukur besarnya evaporasi adalah
salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam rangkaian pengukuran daur
hidrologi. Di daerah tropis pada umumnya, kehilangan air oleh proses evaporasi
dan transpirasi dapat mempercepat terjadinya kekeringan dan penyusutan debit
sungai pada musim kering.
Bagi pakar hidrologi, kehilangan air
akibat evaporasi biasanya dilihat dari dua sisi. Pertama, evaporasi dari
permukaan air (Eₑ), yaitu penguapan
air langsung dari danau, sungai dan badan air lainnya. Kedua, kehilangan air
melalui vegetasi oleh proses-proses intersepsi dan transpirasi (ET), karena penguapan air yang baru
jatuh di atas permukaan daun vegetasi (intersepsi) juga diperhitungkan.
Dalam
hal ini, peristiwa evapotranspirasi sering juga ditafsirkan sebagai kehilangan
air total sebagai akibat evaporasi dan transpirasi dari permukaan tanah dan
vegetasi. Besarnya ET bervariasi
tergantung jenis vegetasi, kemampuannya dalam menguapkan air (ketersediaan
energi), dan persediaan air dalam tanah di tempat tersebut.Menentukan besarnya ET lebih sulit daripada menghitung Eₒ karena laju transpirasi pada suatu
tempat dapat bervariasi dan lagi pula faktor ketersediaan air dalam tanah
memerlukan batasan yang jelas.
3.2.1 Evaporasi
Evaporasi
adalah penguapan air dari permukaan air, tanah, dan bentuk permukaan bukan
vegetasi lainnya oleh proses fisika. Dua unsur utama untuk berlangsungnya
evaporasi adalah energy (radiasi) matahari dan ketersediaan air.
Radiasi matahari. Sebagian radiasi
gelombang pendek (shortwave radiation)
matahari akan diubah menjadi energy panas di dalam tanaman, air, dan tanah.
Energy panas tersebut akan menghangatkan udara disekitarnya. Panas yang dipakai
untuk menghangatkan partikel-partikel berbagai material di udara tanpa mengubah
bentuk partikel tersebut dinamakan panas-tampak (sensible heat). Sebagian dari energy matahari akan diubah menjadi
tenaga mekanik. Tenaga mekanik ini akan menyebabkan perputaran udara dan uap
air diatas permukaan tanah. Keadaan ini akan menyebabkan udara diatas permukaan
tanah jenuh, dan dengan demikian, mempertahankan tekanan uap air yang tinggi
pada permukaan bidang evaporasi.
Ketersediaan
air melibatkan
tidak saja jumlah air yang ada, tapi juga persediaan air yang siap untuk
terjadinya evaporasi. Permukaan bidang evaporasi yang kasar akan memberikan
laju evaporasi
lebih tinggi daripada bidang permukaan rata karena pada bidang permukaan yang
lebih kasar besarnya turbulent meningkat.
3.2.1.1. Faktor-faktor Penentu Evaporasi
Proses-proses fisika yang menyertai
berlangsungnya perubahan bentuk dari zat
cair menjadi gas berlaku pada kedua proses evaporasi tersebut di atas. oleh
karenanya, kondisi fisika yang mempengaruhi laju evaporasi umum terjadi pada
kedua proses alamiah tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain :
1. Panas
diperlukan untuk berlangsungnya perubahan bentuk dari zat cair ke gas dan
secara alamiah matahari menjadi sumber energy panas. Energy panas-tak tampak (latent heat) pada proses evaporasi
datang sebagai energy panas gelombang pendek (shortwave radiation) dan energy panas gelombang panjang (longwave radiation). Energy panas
gelombang pendek merupakan sumber energy panas terbesar dan akan mempengaruhi
besarnya air yang dapat di uapkan dari permukaan bumi sesuai dengan ketinggian
tempat dan musim yang berlangsung. Sedang energy panas gelombnag panas
gelombnag panjang adalah panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi ke udara dan
bersifat menambah panas yang telah dihasilkan oleh energy panas gelombang pendek.
2. Suhu udara, permukaan bidang penguapan (air,
vegetasi, dan tanah), dan energy panas yang berasal dari matahari adalah
faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menghitung besarnya
evaporasi. Makin tinggi suhu udara di atas permukaan penguapan , makin mudah
terjadi perubahan bentuk dari zat cair menjadi gas. Dengan demikian, laju
evaporasi menjadi lebih besar di daerah tropik daripada daerah beriklim sedang.
Perbedaan laju evaporasi yang sama juga di jumpai di daerah tropik pada musim
kering dan musim basah.
3. Kapasitas
kadar air dalam udara juga di pengaruhi secara langsung oleh tinggi rendahnya
suhu udara di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu tempat
di tentukan oleh tekanan uap air. ℓᵃ (vapour
pressure) yang ada di tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung apada
deficit tekanan uap air jenuh. D ᵥᵨ, (saturated
vapour pressure deficit) di udara atau jumlah uap air yang dapat di serap
oleh udara sebelum udara tersebut menjadi
jenuh. Defisit tekanan uap air jenuh adalah beda keadaan antara tekanan uap air
jenuh pada permukaan bidang penguapan (tajuk vegetasi) dan tekanan uap air
nyata di uadara. Dengan demikian, evaporasi lebih banyak terjadi di daerah pedalaman di mana
kondisi udara cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab
akibat penguapan Dario permukaan air laut.
4. Ketika
proses penguapan berlangsung, udara di atas permukaan bidang penguapan secara
bertahap menjadi lebih lembab, sampai pada tahap ketika udara menjadi jenuh dan
tidak mampu lagi menampung uap air. Pada tahap ini, udara jenuh di atas
permukaan bidang penguapan tersebut akan berpindah ke tempat lain akibat beda
tekanan dan kerapatan udara, dan dengan demikian, proses penguapan tersebut akan
berlangsung secara terus-menerus. Hal ini terjadi karena adanya pergantian
udara yang lebih kering atau gerakan massa udara dari tempat dengan tekanan
udara lebih tinggi ke tempat tekanan
yang lebih rendah. Proses perpindahan massa udara seperti itu di sebut proses
adveksi. Dalam hal ini, peranan kecepatan angin di atas permukaan bidang
penguapan merupakan faktor yang penting untuk terjadinya evaporasi. Penguapan
air di daerah lapang seharusnya lebih besar dibandingkan daerah dengan banyak
naungan karena pada keadaan yang pertma perpindahan udara menjadi lebih bebas.
5. Sifat
alamiah bidang permukaan penguapan akan mempengaruhi proses evaporasi melalui
perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaann yang kasar atau tidak
beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya gesekan. Tapi, pada
tingkat tertentu, permukaan bidang penguapan yang kasar juga dapat menimbulkan
gerakan angin berputar (turbulent) yang dapat memperbesar evaporasi. Pada bidang
ini permukaan air yang luas, angin kencang juga dapat menimbulkan gelombnag air
besar dan dapat mempercepat terjadinya evaporasi.
Proses evaporasi seperti telah
disebutkan di atas tergantung pada jumlah air yang tersedia. Telah disinggung
bahwa menentukan besarnya E˳ relative
lebih mudah daripada mengukur ET. Diwaduk misalnya sedikit sekali air
yang tersedia dalam waduk tersebut habis, maka proses evaporasi akan terhenti.
Pada ET, ketersediaan air (dalam
tanah) tidak mudah di amati. Tanaman menyerap air dalam tanah. Di dalam tanah, air tersebut di “tahan” oleh
suatu gaya tarik partikel-partikel tanah.
Sementara itu, laju transpirasi dari
tanaman di tentukan oleh pori-pori daun (stomatas) yang berkerja di bawah
pengaruh cahaya yang berasal dari luar sistem vegetasi tersebut. Pori-pori
menutup pada keadaan gelap, dan lalu proses transpirasi berhenti pada malam
hari. Pada siang hari, ketika terjadi kekurangan air dalam tanah, pori-pori
akan menyempit, dnegan demikian menurunkan besarnya transpirasi.
Tampak bahwa besarnya ET dipengaruhi
oleh persediaan air tanah dan kemampuan tanaman beradaptasi dengan kondisi
meteorology di sekitarnya. Faktor-faktor
meteorologi yang mempengaruhi besar-kcilnya transpirasi adalah radiasi
matahari, suhu, tekanan udara, dan kecepatan angin. Gabungan evaporasi dan
transpirasi dengan persediaan air yang tidak terbatas disebut evaporasi
potensial (PE).
3.2.1.2
Pengukuran Evaporasi (E˳)
Pengukuran evaporasi dari jumlah
permukaan badan air dilakukan dengan cara membandingkan jumlah air yang
diukur antara dua waktu yang berbeda. Bila
saat di lakukan pengukuran turun hujan. Maka jumlah curah hujan pada saat
tersebut juga perlu dipertimbangkan. Dalam prakteknya, analisis neraca air (water budget analysis) dapat dilakukan
untuk mengukur besarnya E˳.
Evaporasi dari suatu waduk atau danau
dalam waktu yang berurutan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan metematik
sebagai berikut :
E˳
= I – 0 – ΔS
I
= masukan air ke waduk di tambah curah hujan yang langsung jatuh pada permukaan
waduk; 0 = air keluaran dari waduk di tambah dengan bocoran air dalam tanah
(seepage), dan ΔS = perubahan kapasitas
tamping waduk.
Evaporasi permukaan air terbuka (E˳) adalah penguapan permukaan air bebas
tumbuhan. Pada permukaan air yang tenang tidak bergelombang, laju penguapan
akan tergantung pada suhu dan tekanan uap air di atas permukaan air. Suhu air
menentukan tekanan uap air pada
eprmukaan air, dan laju evaporasi sebanding dengan perbedaan tekanan uap air
antara permukaan air dan udara di atasnya.
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi E˳ tiga
di antaranya menjadi faktor utama. Meraka adalah kecepatan angin (u) di atas permukaan air, tekanan uap
air pada permukaan air (e˳) yang
merupakan fungsi dari suhu, dan tekanan uap air di atas permukaan air (eₐ).
ketiga faktor ini tergabung dalam persamaan matematik untuk mengukur
besarnya E˳.
PERHITUNGAN EVAPORASI :
PENDEKATAN NERACA ENERGI
Perubahan 1 gram air dari permukaan
badan air (waduk, danau) menjadi uap air memerlukan tenaga panas sebesar ± 580
kalori pada suhu udara 27°C. Besarnya kalori ini merupakan panas-tak tampak
(latent heat) yang berkerja pada badan air tersebut. Tidak semua tenaga panas
yang di terima oleh badan air di
manfaatkan untuk proses evaporasi.
Neraca energy dalam badan air untuk
periode tertentu dapat di tunjukkan melalui persamaan (Dunne dan Leopold,
1978).Besarnya tekanan uap air pada
permukaan air tergantung pada suhu dalam badan air, sedangkan tekanan uap air
di udara dapat diukur dengan alat sling
psychrometer.
3.2.2 Transpirasi
Transpirasi adalah penguapan air dari daun
dan cabang tanaman melalui pori-pori daun oleh proses fisiologi. Daun dan
cabang umumnya di balut lapisan mati yang disebut kulit ari (cuticle) yang kedap uap air. Sel-sel
hidup daun dan cabang terletak di bawah permukaan tanaman, di belakang pori-pori
daun atau cabang. Besar kecilnya laju transpirasi secara tidak langsung di
tentukan oleh radiasi matahari melalui membuka dan menutupnya pori-pori
tersebut. Sistem kerja jaringan sel-sel
daun dan akar yang terlibat dalam penyerapan air dari dalam tanah, perjalanan
air tersebut melalui jaringan kerja xylem, dan akhirnya penguapan uap air
melalui pori-pori daun.
Sel-sel epidermis daun terbalut oleh
lapisan-lapisan ini secara efektif menutup jalannya transpirasi kecuali pada
pori-pori. Namun demikian karena proses
tersebut sangat rendah (2-3% dari total transpirasi daun), maka secara
hidrologi transpirasi kulit ari dapat di abaikan.
Radiasi matahari dan energy panas-tampak
yang sampai di permukaan daun sedikit lebih tinggi daripada suhu udara di
sekelilingnya. Sedang perubahan tekanan uap air antara permukaan daun dan udara
di atasnya meningkat tajam oleh adanya penurunan tekanan uap air udara dengan
kenaikan suhu udara.
Kenaikan ini akan memperbesar penguapan
lapisan air yang mengelilingi sel-sel palisade, menyebarkan uap air
tersebut ke pori-pori dan akhirnya
menguap ke udara oleh hembusan angin di atas permukaan daun. Hilangnya air ini
menyebabkan keadaan kurang air (water
deficit) dalam sel-sel tanaman, dan akan mengarah pada keadaan dimana
kegiatan molekul air pada suhu 3°C. Keadaan ini, melalui proses fisiologi yang
kompleks akan menyebabkan gerakan air tanah melewati dinding-dinding sel akar
ke bagian tanaman yang lebih atas.
Peranan dan fungsi pori-pori daun pada
proses transpirasi adalah bersifat fisiologis. Proses menutup dan membukanya
pori-pori di tentukan oleh kedudukan daun dan cabang, ketersediaan air, dan
masa tanaman merontokkan daun, terutama pada musim kering. Hal ini dilakukan
tanaman untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh tanaman.
3.2.2.1 Faktor-Faktor Penentu Transpirasi
Faktor-faktor yang mengendalikan besar
kecilnya transpirasi suatu vegetasi adalah sama dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya evaporasi, yaitu radiasi panas matahari, suhu,
kecepatan angin, dan gradient tekanan udara. Dalam hal ini, besarnya
transpirasi, dalam batas tertentu juga
di pengaruhi oleh karakteristik dan kerapatan vegetasi sperti struktur tajuk,
perilaku pori-pori daun, dll.
Sedikit berbeda dari proses intersepsi
di mana faktor-faktor yang menentukan besarnya intersepsi di kelompokkan
menjadi dua faktor, yaitu faktor meteorology dan faktor vegetasi. Pada proses
transpirasi yang menurut proses
terjadinya adalah penguapan air yang berasal dari dalam tanah, maka
faktor-faktor penentu terjadinya transpirasi di bedakan menjadi faktor-faktor
meteorology, vegetasi dan tanah (kelembapan tanah).
Perhitungan evaporasi dan transpirasi
umumnya di dominasi oleh faktor-faktor meteorology. Kemampuan atmosfer untuk
berlangsungnya proses penguapan dari permukaan daun atau tajuk vegetasi di
tentukan oleh besarnya suhu udara (tepat di atas permukaan daun dan suhu
daunnya sendiri), beda tekanan uap air yang berlangsung di tempat tersebut, dan
kecepatan angin.
Demikian pula faktor meteorologi
lainnya seperti intensitas dan frekuensi hujan berperan dalam
menentukan besarnya penguapan air yang berasal dari curah
hujan (proses intersepsi) maka regim
curah hujan pada konteks ini berpengaruh terhadap besar-kecilnya jumlah air
yang menguap ke atmosfer.
Pengaruh faktor vegetasi terhadap
besarnya transpirasi lebih di tentukan oleh karakteristik permukaan daun atau
tajuk yang dalah merupakan permukaan bidang penguapan. Tingkat reflektivitas yang terjadi pada
permukaan daun/tajuk tertentu akan menentukan
besarnya radiasi matahari yang dapat di serap oleh vegetasi yang
bersangkutan dan dengan demikian menjadi faktor pengendali yang penting
terhadap tersedianya energy
matahari bersih untuk
berlangsungnya proses transpirasi (evapotranspirasi).
Pada keadaan penutupan tajuk penuh,
besarnya angka albedo kurang-lebih 0,25. Artinya, dari keseluruhan radiasi matahari yang jatuh pada permukaan vegetasi
hanya 25% akan diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Hasil serapan panas oleh
permukaan daun/tajuk vegetasi inilah
yang pada gilirannya nanti akan di manfaatkan untuk berlangsungnya proses
transpirasi. Seperti diketahui albedo adalah istilah ynag digunakan untuk
menunjukkan besarnya reflektivitas radiasi
matahari terhadap radiasi matahari yang datang pada permukaan vegetasi,
besarnya albedo juga di tentukan oleh musim (tingkat pertumbuhan tanaman).
Selain kemampuan permukaan vegetasi dala
menyimpan panas, kekasaran permukaan vegetasi juga akan menentukan besarnya
transpirasi karena dengan struktur permukaan yang kasar dapat menciptakan
kondisi yang kondusif terhadap aliran udara yang tidak beraturan sehingga dapat
mempercepat proses penguapan yang terjadi
di permukaan tajuk vegetasi tersebut.
Dengan mekanisme ini, maka transpirasi di
daerah berhutan lebih besar daripada daerah dengan dominasi vegetasi rumput
atau jenis vegetasi rendah lainnya. Bagian dari vegetasi lain yang juga
mempengaruhi besarnya transpirasi adalah sistem perakaran vegetasi. Ketika air
dalam keadaan cukup banyak, peranan akar vegetasi terhadap proses penguapan air
ini mungkin tidak terlalu besar. Tetapi ketika cadangan air tanah mulai
menyusut, faktor kedalaman dan kerapatan akar vegetasi menjadi penting.
Keadaan dengan sistem perakaran dangkal
akan menguapkan air pada tingkat lebih rendah daripada laju potensialnya.
Sementara vegetasi yang memiliki sistem perakaran lebih dalam masih mampu
melakukan proses transpirasi pada tingkat sama dengan laju transpirasi
potensial. Kerapatan sistem perakaran vegetasi dapat memberikan pengaruh yang
menentukan terhadap besarnya transpirasi apabila laju evapotranspirasi yang
terjadi menjadi begitu besar. Pada keadaan seperti itu, jarak tempuh antara air
yang tersedia untuk transpirasi dengan
vegetasi dapat di perpendek oleh sistem perakaran vegetasi yang bersangkutan.
Kadar kelembapan tanah ikut menentukan
besar kecilnya transpirasi, terutama apabila keadaan kelembapan berkurang sampai
pada titik ketika vegetasi tersebut tidak lagi dapat di manfaatkan cadangan kelembapan air yang ada di dalam
tanah (wilting point). Sebaliknya,
pada keadaan ketika kelembapan tanah cukup, artinya ia berada di antara keadaan
wilting point dan field capacity, transpirasi secara material tidak
dipengaruhi oleh kelembapan tanah. Field capacity atau kapasitas lapang
tanah adalah keadaan ketika air tetap tinggal dalam tanah dan tidak bergerak ke
bawah oleh gaya gravitasi.
Besarnya kapasitas lapang tanah serta cadangan
kelembapan air tanah di pengaruhi oleh struktur tanah. Pada tanah dengan
kapasitas air tanah tersedia terbatas, kelembapan air dalam tanah mudah
berkurang dan akan menurunkan laju evapotranspirasi di bawah laju
evapotranspirasi potensial. Tampak bahwa faktor kelembapan tanah dapat mnejadi
faktor pembatas yang sangat menentukan
untuk berlangsungnya proses
transpirasi, terutama pada tempat-tempat yang keadaan kelembapan tanahnya
terbatas.
3.2.2.2 Pengukuran
Transpirasi
Adalah sulit mengukur dari permukaan
tanah yang bervegetasi. Selain harus memperhatikan jumlah air yang tersedia dan
kemampuan atmosfer untuk menyerap dan mengangkut uap air, masih harus
mempertimbangkan mekanisme transpirasi vegetasi. Beberepa teknik pengukuran
transpirasi telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman dalam plot-plot
percobaan. Teknik tersebut antara lain :
1. Plot
pengukuran dengan menggunakan alat lysimeter.
2. Pengukuran
berkurangnya kleembapan tanah dalam plot percobaan.
3. Pemangkasan
cabang-cabang tanaman dan menimbangnya untuk mengukur besarnya laju kehilangan
air.
4. Analisis
neraca air.
3.2.3 Evapotranspirasi
(ET)
Evapotranspirasi (ET) adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari
permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh adanya pengaruh faktor-faktor
iklim dan fisiologis vegetasi. ET juga merupakan gabungan antara proses-proses
evaporasi, intersepsi, dan transpirasi. Evaporasi adalah proses penguapan yaitu perubahan dari zat cair menjadi uap air
atau gas dari semua bentuk permukaan kecuali vegetasi.
Sedang transpirasi adalah perjalanan air dalam jaringan vegetasi (proses fisiologis)
dari akar tanaman kepermukaan daun dan akhirnya menguap ke atmosfer.
Intersepsi adalah penguapan air dari
permukaan vegetasi ketika berlangsung hujan. Besarnya laju transpirasi kurang
lebih dsama dengan laju evaporasi apabila pori-pori daun (stomata) terbuka.
Proses pembukaan pori-pori daun tampaknya di kendalikan oleh besarnya pembukaan
diameter pori-pori daun. Ketika pori-pori daun menutup, proses transpirasi
tetap berlangsung tetapi dengan laju yang sangat lambat.
Melalui proses transpirasi, vegetasi
mengendalikan suhu agar sesuai dengan yang diperlukan tanaman untuk hidup. Pada
tingkat yang paling praktis, perhitungan pemakaian air oleh vegetasi dapat
dimanfaatkan sebagai masukan untuk memilih jenis tanaman (pertanian) yang dapat
tumbuh dengan baik pada kondisi curah hujan yang tidak menentu (Dagg, 1965
dalam Dunne dan Leopold. 1978). Perhitungan
keperluan air irigasi untuk suatu tanaman juga didasrkan pada besarnya
evapotranspirasi vegetasi yang akan ditanam.
Besarnya evapotranspirasi suatu
komunitas vegetasi perlu di ketahui karena hasil penelitian menunjukkan bahwa
dua-pertiga dari jumlah hujan yang jatuh di daratan Amerika Utara kembali lagi
ke atmosfer sebagai hasil evaporasi tanaman dan permukaan tubuh air. Di Afrika,
air yang terevapotaranspirasi bahkan sampai melebihi 90% dari jumlah curah
hujan yang jatuh di tempat tersebut (US
Soil Conservation Service, 1970).
3.2.3.1 Faktor-Faktor
Penentu Evapotranspirasi
Evapotranspirasi dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (PET) dan evapotranspirasi actual (AET). PET lebih dipengaruhi oleh
faktor-faktor meteorologi sementara AET lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur
tanah.
Faktor dominan yang mempengaruhi PET adalah radiasi matahari dan suhu,
kelembapan atmosfer dan angin, dan secara umum besarnya PET akan meningkat ketika suhu, radiasi matahari, kelembapan dan
kecepatan angin bertambah besar.
3.2.3.2 Pengukuran/
Perhitungan Evapotranspirasi
Berikut
ini adalah beberapa teknik pendekatan untunk menghitung besarnya ET.
1.
Panci
Evaporasi
Teknik
pengukuran ET paling sederhana adalah menggunakan panic untuk
mendapatkan angka indeks potensial evapotranspirasi. Cara perhitungan ini
memerlukan suatu angka koefisien yang harus di evaluasi tingkat ketepatannya.
Rumus matematisnya seperti di bawah ini :
PET = Cₑ
Eᵨ
Cₑ = angka koefesien panci, dan Eᵨ = evaporasi panci (mm/tahun).
2.
Alat
ukur Lysimeter
Alat ini memberikan hasil yang teliti
karena menggunakan perangkat penelitian
dengan batas yang jelas dan sistem
kebocoran air tanah tidak menjadi persoalan. Namun demikian banyak ahli
hidrologi beranggapan bahwa hasil yang diperoleh tidak memadai untuk di
ekstrapolasi ke lapangan. Teknik Lysimeter lebih cocok di terapkan pada tanaman
pertanian di tempat-tempat percobaan atau laboratarium.
Pada teknik ini profil tanah, perkembangan
akar tanaman, dan kondisi kelembapan tanah harus di usahakan sama antara
keadaan di dalam dan di luar alat Lysimeter. Apabila kelembapan tanah terus di
jaga dalam keadaan basah, maka evapotranspirasi yang di peroleh adalah dalam
laju potensial (PET).
Akan tetapi apabila di ketahui Evapotranspirasi actual (AET), maka kedaaan kelembapan tanah di dalam alat harus dibiarkan
berfluktuasi seperti yang terjadi pada tanah disekelilingnya. Gambar 3.6 adalah dua tipe lysimeter yang sering
digunakan, yaitu tipe drainase (drainage
type) dan tipe timbang (spring-balace
weighing type). Neraca air dalam tipe drainase diasumsikan sebagai berikut
:
Evapotranspirasi = Presipitasi + Irigasi
– Drainase.
Air masukan dan air drainase di ukur
besarnya. Lama waktu pengukuran tergfantung pada tingkat atau frekuensi kebasahan, ukuran alat, dan laju gerakan air
dalam tanah. Hasil yang diperoleh dengan teknik ini adalah PET karena kelembapan tanah
di dalam alat diatur/disesuaikan. Lysimeter
tipe drainase berukuran kecil sering
disebut evapotranspirometer.
Sedangkan tipe alat yang lain adalah tipe timbang dengan asumsi neraca air
sebagai berikut :
Evapotranspirasi = Presipitasi + Irigasi
– Drainase ± Perubahan Kapasitas Simpan.
Perubahan kapasitas simpan (change in storage) di ukur dari alat
penimbang seperti pada gambar 3.6. alat
tipe timbang karena harganya yang relative mahal maka pemakaiannya terbatas
pada keperluan pengujian teori proses evapotransipirasi. Seperti halnya tipe
drainase, tipe timbang juga dapat dimanfaatkan untuk mengukur besarnya PET dan AET.
Berikut ini adalah beberapa cara
perhitungan untuk menentukan besarnya evapotranspirasi (actual dan potensial)
dengan memanfaatkan persamaan empiris.
3. Metoda Thornthwaite
Metoda Thornthwaite memanfaatkan suhu
udara sebagai indeks ketersediaan energy panas untuk berlangsungnya proses ET
dengan asumsi suhu udara tersebut berkolerasi dengan efek radiasi matahari dan
unsur lain yang mengendalikan proses ET (Wnielista, 1990). Indeks PET yang
hanya memerlukan data suhu udara tersebut dikembangkan oleh Thornthwaite (1948)
dalam Manning (1987).
Nilai untuk PET harus disesuiakan dengan
jumlah hari per bulan dan panjang hari (latitudinal adjustment). Hasil
perkiraan PET bersama-sama dengan curah hujan dan kelembapan tanah dapat
dimanfaatkan untuk menghitung analisis neraca air (water budget analysis).
Model hidrologi lazim digunakan untuk
menghitung unsur0-unsur neraca air tersebut di atas dalam skala DAS.
Perhitungan analisis neraca air adalah penting untuk mempelajari perilaku
hubungan air-tanaman-tanah. Transpirasi
tanaman yang merupakan bagian penting dari evapotranspirasi dapat
mempengaruhi neraca air, dan dengan demikian infiltrasi dan air larian. Denagn
asumsi aliran air bawah permukaan yang masuk sama dengan yang keluar, dan
panjang akar tanaman berada jauh di atas permukaan air tanah, persamaan neraca
air dapat di tulis sebagai berikut (Lane dan Stone, 1983):
Q = P – ET – L ± ΔS/Δt (3.17)
Q = debit aliran (mᶾ/Δt), P = curah
hujan (ram/tahun), ET= evapotranspirasi (mm/tahun), L= perkolasi (mm/Δt), ΔS= kleembapan tanah (mm) mewakili
satuan volume satuan wilayah, Δt = periode waktu yang diperlukan untuk
perhitungan (jam, hari, bulan). Nilai ΔS/Δt positif menunjukkan penambahan
kelembapan tanah, sementara nilai negative menunjukkan penurunan kelembapan
tanah di tempat yang bersangkutan.
Untuk menyederhanakan perhitungan ,
besarnya ΔS/Δt diasumsikan = 0 atau air masukan = air keluaran. Semakin besar
besar ET, semakin kecil debit aliran. Et dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain, iklim dan jenis tumbuhan. Iklim bersifat tidak dapat dimodifikasi
oleh manusia oleh karenanya, faktor jenis tumbuhan inilah yang menjadi
perhatian untuk pengelolaan sumberdaya air.
Metodologi
untuk memprakirakan besarnya air larian adalah sebagai berikut:
a. Apabila
P>PET, AET=PET.
Kelebihan
air (P – PET ) pertama-tama akan disimpan dalam tanah sampai kapasitas air
tersedia tercapai. Ketika kapasitas tanah mencapai nilai maksimum, sebagian
kelebihan air tersebut akan melimpas.
b. Pada
keadaan P < PET
Apabila
SM mewakili jumlah kelembaban air tanah yang cukup, maka :
AET
= PET =P + bagian dari SM
Apabila
SM tidak mewakili jumlah kelembaban air tanah yang cukup, maka :
AET
< PET
AET
= P + Sisa dari SM
Apabila
besarnya SM tidak cukup tersedia dalam tanah, maka :
AET
< PET dan AET = P
c. Bulan
pertama pada table 3.4 merupakan bulan pertama dari tahun hidrologi, yaitu
merupakan bulan pertama setelah musim kemarau. Didaerah Bandung, Jawa Barat
misalnya bulan pertama tersebut jatuh pada bulan nopember. Besarnya SM
merupakan fungsi dari keadaan alam,kedalaman tanah yang dapat dicapai oleh
system perakaran vegetasi. Besarnya harga SM umumnya diperoleh dari table 3.5
di bawah ini.
Tabel
3.5 Besarnya harga SM yang umum digunakan (mm)
Jenis
tanaman
|
Tanah
berpasir
|
Pasir
berlempung
|
Tanah
berlempung
|
Sayuran
|
35
|
80
|
70
|
Padi-padian
|
50
|
130
|
130
|
Alfalfa
|
70
|
170
|
170
|
Buah-buahan
|
100
|
200
|
170
|
Sumber
: Bonnier (1979)
Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu
diperhatikan apabila menggunakan metoda Thorntwaite untuk memrakiran besarnya
air larian :
1. Besarnya
kelembaban tanah (SM) biasanya diperoleh dari Tabel 3.5 atau diasumsikan. Untuk
luas daerah aliran sungai yang besar sulit untuk mendapatkan angka rata-rata SM
yang akurat
2. Apabila
terjadi hujan lebat, air larian tetap akan berlangsung meskipun nilai SM belum
jenuh benar
3. Metoda
Thorntwaite tidak mempertimbangkan factor intersepsi curah hujan oleh suatu
komunitas vegetasi
4. Angka
air larian yang dihasilkan tidak hanya mewakili air larian permukaan, tetapi
juga termasuk air infiltrasi.
Seperti
telah di kemukakan bahwa air larian terjadi karena air hujan melebihi laju
infiltrasi air permukaan.selama berlangsung hujan laju infiltrasi akan
ditentukan oleh jumlah dan penyebaran curah hujan. Ia juga akan tergantung pada
keadaan kelembaban awal tanah serta karakteristik tanah seperti tekstur,
porositas, konduktivitas hidrolik, struktur dan kedalaman tanah serta bentuk
permukaan tanah.
Unsur
lain yang juga mempengaruhi besar-kecilnya laju infiltrasi adalah tataguna
tanah, jenis dan cara pengelolaan vegetasi. Air larian dihitung dari data curah
hujan dengan menggunakan beberapa teknik perhitungan antara lain indeks curah
hujan, persamaan regresi, persamaan hubungan curah hujan harian dan air larian
serta dengan menggunakan persamaan infiltrasi seperti tersebut pada sub-bab
5.1.3. pada keadaan kelembaban tanah tidak terbatas, besarnya ET pada persamaan
3.23 akan ditentukan oleh nilai ET potensial, tekstur dan karakteristik
permukaan tanah, dan karakteristik vegetasi yang tumbuh didaerah tersebut.
Cara
lain yang lebih praktis untuk menunjukkan pengaruh tajuk penutupan tanah
terhadap besarnya ET tahunan adalah seperti terlihat pada gambar 3.7. perubahan
besarnya ET dihitung dari perubahan air larian sebagai akibat kegiatan
penambahan dan pengurangan luas tegakan hutan/ vegetasi.
Gambar
3.7 prakiraan kenaikan dan penurunan ET dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan
penebangan hutan dari 75 plot percobaan dibeberapa Negara (diadaptasi dari
Bosch dan Hewlett 1982)
Secara
umum tampak bahwa nilai ET meningkat dengan pertambahan luas dan pertumbuhan
tegakan hutan.Sebaliknya nilai ET menurun dengan adanya penebangan atau
penyusutan luas tegakan hutan. Pengurangan tajuk tegakan pinus dan Ekaliptus
sebesar 10% akan menurun nilai ET
tahunan sebesar kurang lebih 4 cm. sementara pengurangan luas tegakan
hutan yang serupa untuk jenis tanaman berdaun lebar akan menurunkan ET tahunan
sebesar 2,5 cm.
Dalam
bentuk tabel, bentuk hubungan sub-Bab 8.1 (tabel 8.1). perlu dikemukakan bahwa
keadaan ini berlangsung di daerah beriklim sedang. Bentuk hubungan pengaruh
perubahan luas vegetasi hutan terhadap perubahan ET untuk daerah tropis belum
banyak dilakukan sehingga akan menjadi topic penelitian yang menarik dan sangat
diperlukan.
4.Metoda
Blaney-Criddle
Metoda Blaney-Criddle untuk memprakirakan besarnya
evapotranspirasi potensial (PET) pada awalnya dikembangkan untuk memprakirakan
besarnya konsumsi air irigasi di Amerika Serikat.
Dalam
hal ini, perameter yang di manfaatkan sebagai masukan utama adalah besarnya
suhu dan panjang hari . Bentuk rumus
yang umum digunakan, antara lain, oleh U.S. Soil Conservation Service (1970)
adalah :
PET
= (0,142 Ta + 1,095)(Ta
+ 17,8) k d (3,18)
PET=
evapotranspirasi potensian (cm/bln)
Ta=
suhu rata-rata (0C)
Apabila Ta lebih kecil dari 3 0C,
besarnya angka konstan 0,142 harus diganti dengan 1,38
K=Faktor
pertanaman empiris, bervariasi menurut tipe ertanaman serta tahap pertumbuhan
d=
fraksi lama penyinaran matahari per bulan dalam waktu satu tahun
factor-faktor
pertanaman dikembangkan dari hasil uji coba pada plot-plot percobaan di AS, dan
disarankan untuk di sesuaikan dengan keadaan setempat apabila akan digunakan
diluar daerah pengembangannya, meskipun hal ini jarang dilakukan.
Factor
pertanaman mewakili perbedaan dalam hal nilai kekasaran (bidang penguapan ),
adveksi , dan radiasi matahari bersih yang hal ini di pengaruhi oleh struktur
vegetasi selama masa pertumbuhannya. Untuk memprakirakan besarnya air yang
diperlukan suatu vegetasi selama masa pertumbuhannya, dapat juga memanfaatkan
rumus Blaney-Criddle dalambentuk sebagai
berikut :
PET
(cm) = K ∑n (1,8T ai + 32 ) di
K=
Koefisien pertanaman selama periode pertumbuhan
n=jumlah bulan
selama masa pertumbuhan
Tai=
suhu udara (0C)
di=
fraksi lama penyinaran matahari setiap bulan dalam waktu 1 tahun
Metoda
persamaan Blaney-Criddle selama ini telah digunakan secara luas, terutama dalam
bidang pertaniaan,meskipun hasil yang diperoleh tidak terlalu akurat karena
adanya kesalahan pemakaian angka factor-faktor pertanaman seperti tersebut pada
tabel 3.5
Tabel
3.6 Faktor pertanaman empiris (k) untuk rumus Blaney-Criddle. Untuk wilayah
hemisfer selatan, angka konfisien bulanan tanaman tahunan harus disesuaikan
dengan waktu permulaan masa pertumbuhan
Tanaman
|
Periode pertumbuhan
|
|
|
|
|
|
|
|
Bln
|
|
|
|
|
|
Suhu
|
Suhu
|
Panjang hari
|
J
|
P
|
M
|
A
|
M
|
J
|
J
|
A
|
S
|
O
|
|
Awal
|
Akhir
|
Maksimum
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(oC)
|
(oC)
|
(hari)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tahunan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Rumput
|
7
|
7
|
Bervariasi
|
0,49
|
0,57
|
0,73
|
0,85
|
0,90
|
0,92
|
0,92
|
0,91
|
0,87
|
0,79
|
Alfalfa
|
10
|
-2
|
Bervariasi
|
0,63
|
0,73
|
0,86
|
0,99
|
1,08
|
1,13
|
1,11
|
1,06
|
0,99
|
0,91
|
Kebun
|
10
|
7
|
Bervariasi
|
0,17
|
0,25
|
0,40
|
0,63
|
0,88
|
096
|
0,95
|
0,82
|
0,54
|
0,30
|
Musiman
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
0-10
|
10-20
|
20-30
|
30-40
|
40-5
|
50-60
|
60-70
|
70-80
|
80-90
|
90-100
|
Sayuran
|
16
|
0
|
100
|
0,33
|
0,47
|
0,64
|
0,74
|
0,80
|
0,82
|
0,82
|
0,76
|
0,66
|
0,48
|
Kentang
|
16
|
0
|
130
|
0,36
|
0,45
|
0,59
|
0,85
|
1,09
|
1,26
|
1,35
|
1,37
|
1,34
|
1,27
|
Jagung
|
13
|
0
|
140
|
0,46
|
0,54
|
0,64
|
0,82
|
1,00
|
1,08
|
1,08
|
1,03
|
0,97
|
0,89
|
Jagung manis
|
13
|
0
|
140
|
0,43
|
0,52
|
0,62
|
0,81
|
1,00
|
1,07
|
1,08
|
1,07
|
1,04
|
1,02
|
Gandum
|
16
|
0
|
130
|
0,32
|
0,47
|
0,72
|
0,93
|
1,07
|
1,04
|
0,94
|
0,82
|
0,70
|
0,60
|
Kacang
|
|
0
|
140
|
0,22
|
0,30
|
0,37
|
0,48
|
0,63
|
0,84
|
0,98
|
1,02
|
0,83
|
0,72
|
Kapas
|
17
|
0
|
240
|
0,22
|
0,28
|
0,40
|
0,64
|
0,90
|
1,01
|
1,00
|
0,88
|
0,73
|
0,57
|
Tabel 3.7
Fraksi bulanan panjang hari/penyinaran dalam satu tahun (untuk persamaan
Blaney-Criddle)
Lat.
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agt
|
Sep
|
Okt
|
Nop
|
Des
|
600N
|
0,047
|
0,057
|
0,081
|
0,096
|
0,117
|
0,124
|
0,123
|
0,107
|
0,086
|
0,070
|
0,050
|
0,042
|
50 N
|
0,060
|
0,063
|
0,082
|
0,092
|
0,107
|
0,109
|
0,110
|
0,100
|
0,085
|
0,075
|
0,061
|
0,056
|
40 N
|
0,067
|
0,066
|
0,082
|
0,089
|
0,099
|
0,100
|
0,101
|
0,094
|
0,083
|
0,077
|
0,067
|
0,075
|
20 N
|
0,073
|
0,070
|
0,084
|
0,087
|
0,095
|
0,095
|
0,097
|
0,092
|
0,083
|
0,080
|
0,072
|
0,072
|
10 N
|
0,081
|
0,075
|
0,085
|
0,084
|
0,088
|
0,086
|
0,089
|
0,087
|
0,082
|
0,083
|
0,079
|
0,081
|
0
|
0,085
|
0,077
|
0,085
|
0,082
|
0,085
|
0,082
|
0,085
|
0,085
|
0,082
|
0,085
|
0,082
|
0,085
|
10OS
|
0,089
|
0,079
|
0,085
|
0,081
|
0,082
|
0,079
|
0,081
|
0,083
|
0,082
|
0,086
|
0,085
|
0,088
|
20S
|
0,092
|
0,081
|
0,086
|
0,079
|
0,079
|
0,074
|
0,078
|
0,080
|
0,081
|
0,088
|
0,089
|
0,093
|
30 S
|
0,097
|
0,083
|
0,086
|
0,077
|
0,074
|
0,070
|
0,073
|
0,078
|
0,081
|
0,090
|
0,097
|
0,099
|
40 S
|
0,102
|
0,086
|
0,87
|
0,075
|
0,070
|
0,064
|
0,068
|
0,074
|
0,080
|
0,092
|
0,097
|
0,105
|
Sumber
: U.S.Soil Conservation Service (1970)
Hingga
Tabel 3.7. namun demikian, apabila angka factor pertanaman untuk daerah kajian
tidak tersedia, maka angka-angka factor pertanaman dalam tabel-tabel tersebut diatas
dapat memberikan angka prakiraan yang memadai.
Tabel 3.8 koefisien musiman untuk tanaman pertanian
Tanaman
|
Panjang
Masa Pertumbuhan Normal
|
K*
|
Pisang sepanjang tahun 2,0-2,5
Kedelai 3 bulan 1,5-1,8
Coklat sepanjang
tahun
1,8-2,0
Kopi sepanjang tahun 1,8-2,0
Jagung 4 bulan 1,9-2,2
Kapas 7 bulan 1,5-1,8
Gandum 4-5 bulan 1,8-2,0
Rumput antara periode beku 1,9-2,2
Kentang 3-5 bulan 1,6-1,9
Padi 3-5 bulan 2,5-2,8
Kacang-kacangan 5 bulan 1,6-1,8
Tebu sepanjang
tahun 2,0-2,3
|
Nilai
yang lebih kecil adalah untuk daerah yang lebih lembah, sedang nilai yang lebih
besar untuk daerah lebih kering.
5.Metoda
penman
Metoda
penman pada mulanya dikembangkan untuk menentukan besarnya evaporasi dari
permukaan air terbuka.Dalam perkembanganya, metoda tersebut juga digunakan
untuk menentukan besarnya evapotranspirasi potensial (PET) dari suatu tegakan
vegetasi dengan memanfaatkan data iklim mikro yang diperoleh dari atas
permukaan vegetasi yang menjadi kajian.Dengan menggunakan metoda penman,
perhitungan besarnya evaporasi dari permukaan vegetasi jenuh air dapat
ditentukan tanpa harus mengukur suhu pada permukaan bidang penguapan.
Energi
tersedia yang digunakan untuk evaporasi pada permukaan tajuk vegetasi,πEC,,adalah sebagai berikut
(Monteith dan Unsworth, 1990):
πEC=Rn
– G- H (3.20)
dimana
Rnadalah net radiation, H adalah sensible hat flux di atmosfer,dan G
adalah aliran (flux) panas dari dan ke tanah. Menurut Monteith (1965):
H=ρ
cP (T0- T ) ra (3.21)
T0
adalah suhu pada permukaan tajuk vegetasi, T adalah suhu atmosfer pada
(ketinggian )referenceheight,
lazimnya ditentukan 2 m di atas permukaan tajuk vegetasi yang menjadi kajian,
dan ra adalah aerodynamic
transfer resistence antara permukaan bidang penguapan dan ketinggian yang telah
di tentukan tersebut diatas. Monteith (1965) mengusulkan bahwa resistensi
stomata untuk keseluruhan permukaan tajuk vegetasi dapat diwakili oleh factor
resisensi tunggal,rs,dan dengan demikian:
ΠeC=[(ρ
cp) / ϓ[es(T0)- ea] / [ra +
rs] (3.22)
es(T0)
adalah tekanan uap air di dalam stomata
pada suhu permukaan tajuk vegetasi (T0) dan ea adalah
tekanan uap air di atmosfer pada reference height.
Untuk
menyelesaikan persamaan 3.22 diperlukan informasi/data besarnya suhu pada
permukaan tajuk vegetasi, yang seringkali tidak tersedia. Untuk memecahkan
masalah ini , Monteith (1965) menggunakan pendekatan prakiraan linier untuk
menentukan besarnya laju perubahan tekanan uap air jenuh pada interval suhu
yang relative kecil ,s,sebagai berikut :
S=[es(TO)-
es(T)] / [TO –T] (3.23)
Menggabungkan
persamaan-persamaan 3.21dan 3.22 kedalam persamaan 3.20 dan menghilangkan
variable-variabel TO dan es(T0) dalam persamaan
3.23 akan diperoleh angka ΠeC sebagai berikut :
πEc=[Sa=+ρ
CP {es (T) – ea} / ra ] / [s + ϓ{
1+(rs/ra)}] (3.24)
Persamaan
3.24 lazimnya dikenal sebagai persamaan Penman Monteith, dan merupakan ben,
variabel tuk dasar dan sederhana dalam menjabarkan proses evaporasi dari
permukaan tajuk vegetasi. Apabila sumber uap air yang akan diuapkan merupakan
suatu permukaan tajuk vegetasi yang jenuh, variabel rs dalam
persamaan 3.24 dapat diabaikan dan persamaan tersebut tereduksi menjadi
persamaan Penman sebagai berikut :
ΠeC=[(sR
n+ρ cp { es(T) –ea} ga]
/ [(s + ϓ)] (3.25)
Adalah
jenis dari persamaan 3.25 bahwa laju evaporasi meningkat secara linier dengan
meningkatkan Rn,dengan meningkatnya tekanan uap air deficit di
atmosfer, DVP {=es (T)- ea}, dan dengan
meningkatnya boundary layer conductance, ga (=1/ra).
Besarnya es
(T)=f
(T) da n ea (T) x Rh-
Apabila
permukaan tajuk vegetasi tidak jenuh atau hanya sebagian saja jenuh (C < S)
,maka laju evaporasi potensial (Epot), dan besarnya adalah sebanding
dengan nisbah antara jumlah air yang tertinggal di permukaan tajuk vegtasi , C,
terhadap kapasitas simpan tajuk vegetasi, S, seperti tersebut di bawah ini
EC=Epot
X CIS (3.26)
Sebagian
besar variabel-variabel atmosfer tersebut di atas merupakan fungsi dari suhu
(T) dan kelembaban relative (Rh) udara, besarnya angka konversi
variabel-variabel lainnya (s,ρ,π,ϓ) dapat diketahui dari buku-buku teks fisika/
keteknikan. Besarnya Rn dapat diukur langsung dengan menggunakan
alat net radiometer atau dengan memanfaatkan persamaan empiris Rn =2,9
+ 0,34 Q (n=233, r3=0,92 ; Q adalah solar radiation )
Besarnya
boundary layer conductance, ga, umumnya dihitung berdasarkan fungsi
dari kecepatan angin :,
ga=f u (3.27)
u =kecepatan angin 2 m
diatas tajuk vegetasi
f =angka
tatapan yang besarnya dapat ditentukan sebagai berikut :
f=[In (z-d)/zo]2/
k2 (3.28)
Metoda
lain yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya laju evaporasi adalah
dengan menggunakan persamaan Priestley Taylor, yang merupakan metoda
perhitungan laju evaporasi untuk wilayah bervegetasi yang luas dengan suplai
air yang besar.
Dalam
hal ini Priestley dan Taylor menyerderhanakan persamaan Penman dengan cara
mendefinisikan kembali konsep evaorasi potensial yang berlangsung diwilayah
bervegetasi dengan suplai air besar tersebut sebagai fungsi dari energy
(matahari). Bentuk persamaan Priestley-Taylor adalah sebagai berikut:
πEc=Αa
{s/(s + ϓ)} (3.29)
6.Analisis
Neraca Kelembaban Tanah
Teknik
model simulasi dengan memanfaatka perangkat computer saat ini sedang
menggejala, terutama di Negara maju. Teknik yang banyak digunakan adalah bentuk
perbandingan ET aktual (AET)dan ET potensial (PET) atau lebih dikenal dengan
istilah ETR.
AET/PET=
f (AW / AWC) (3.30)
Gambar
3.8 Bentuk umum perbandingan ET aktual dan ET potensial (ETR)
ERT
mempunyai 3 komponen utama. Pertama, indeks PET untuk kondisi tanah dan
vegetasi setempat. Komponen kedua adalah kelembaban tanah. Dalam hal ini berkaitan
dengan posisi ketinggian permukaan air tanah . komponen ketiga adalah AET yang
merupakan fraksi PET untuk tingkat kelembaban tanah tertentu.dengan
memanfaatkan gambar 3.8 tampak bahwa apabila persediaan air lebih besar dari
50%, kelembaban tanah pada saat itu mampu mencegah terjadinya keadaan
kekurangan air dan dengan demikian, nilai AET = PET.
Sebaliknya
bila vegetasi yang ada tidak mampu lagi menyerap air dari tanah. Kelihatan
bahwa bentuk hubungan AET dan PET ditentukan oleh keadaan kelembaban tanah.
Untuk mengevaluasi keadaan kekurangan air dan AET suatu daerah tangkapan air,
persentase vegetasi menutup tanah daerah tangkapan air tersebut harus
diketahui.Hal ini memerlukan pengamatan tata guna lahan dan klasifikasi
vegetasi untuk dapat menentukan besarnya angka tatapan akar RC (root constant).
Konsep
angka tetapan akar(RC) ini diperkenalkan oleh Penman (1950) yaitu jumlah
kelembaban air tanah (mm) yang masih dapat diserap vegetasi dari dalam tanah.
Tabel 3.9 berikut ini menunjukkan beberapa nilai tetapan akar untuk jenis
vegetasi yang berbeda.
Tabel 3.9 angka
tetapan akar dalam bentuk kedalaman kelembaban tanah
Tipe vegetasi
|
Kelembaban tanah (mm)
|
Padang rumput
|
75
|
Umbi akar
|
100
|
Tanaman padi,gandum dan sejenisnya
|
140
|
Tegakan hutan
|
200
|
Untuk
memudahkan perhitungan, diasumsikan bahwa 20% wilayah DAS, termasuk semua
wilayah pinggir sungai mempunyai permukaan air tanah dengan ketinggian hampir
mencapai daerah perakaran vegetasi. Dengan demikian, AET = PET. Sementara 50%
dari wilayah DAS merupakan padang rumput dengan nilai terapan akar RC sebesar
75 mm, sedang 30% lainnya merupakan daerah berhutan dengan nilai RC=200
mm(tabel 3.9).dengan dukungan data curah hujan dan nilai evapotranspirasi untuk
suatu DAS dapat diketahui.
Tabel
3.10 perhitungan keadaan kekurangan air dalam tanah dan evapotranspirasi actual
suatu daerah tangkapan air dalam satuan mm
|
|
|
|
|
R
|
|
RC
|
|
Daerah
|
|
|
|
|
|
|
200 m
|
|
75mm
|
|
Tangkapan
air
|
|
|
Curah
|
|
|
SDM
|
|
|
|
|
|
|
Bulan
|
Hujan
|
PET
|
(1)-(2)
|
poten
|
SDM
|
AET
|
SDM
|
AET
|
SDM
|
AET
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
(8)
|
(9)
|
(10)
|
April
|
48
|
51
|
-3
|
3
|
3
|
51
|
3
|
51
|
2,4
|
51
|
Mei
|
20
|
86
|
-66
|
69
|
69
|
86
|
69
|
86
|
55
|
86
|
Juni
|
31
|
102
|
-71
|
140
|
140
|
102
|
112
|
74
|
98
|
88
|
Juli
|
84
|
86
|
-2
|
142
|
142
|
86
|
112
|
84
|
99
|
85
|
Agustus
|
69
|
76
|
-7
|
149
|
149
|
76
|
113
|
70
|
101
|
73
|
September
|
9
|
46
|
-37
|
186
|
186
|
46
|
116
|
12
|
114
|
29
|
Oktober
|
3
|
25
|
-22
|
208
|
208
|
25
|
118
|
5
|
121
|
15
|
Nopember
|
81
|
5
|
76
|
132
|
132
|
5
|
42
|
5
|
61
|
5
|
Desember
|
51
|
4
|
47
|
85
|
85
|
4
|
0
|
4
|
26
|
4
|
Keterangan
: SDM = SC = AET
Besarnya bilangan pada 3 kolom
pertama adalah curah hujan setempat, PET yang diperoleh dari persamaan 3.18 dan
angka curah hujan dikurangi PET.Besarnya SDM potensial adalah keadaan
kekurangan air yang terjadi bila evaporasi potensial telah terpenuhi.
Tabel;
3.11 penurunan nilai SDM actual dari SDM potensial untuk daerah kajian seperti
tersebut pada Tabel 3.10
Potensial (mm)
|
Aktual
(mm)
|
Potensial
(mm)
|
Aktual
(mm)
|
Potensial
(mm)
|
Aktual
(mm)
|
RC 77 mm
|
|
|
|
|
|
96
|
96
|
116
|
106
|
170
|
114
|
98
|
97
|
118
|
107
|
180
|
115
|
100
|
98
|
120
|
108
|
190
|
116
|
102
|
100
|
124
|
109
|
200
|
117
|
104
|
101
|
128
|
110
|
210
|
118
|
106
|
102
|
132
|
111
|
220
|
119
|
108
|
103
|
136
|
112
|
240
|
120
|
110
|
104
|
140
|
112
|
260
|
122
|
112
|
105
|
150
|
113
|
280
|
124
|
11
|
106
|
160
|
113
|
300
|
125
|
Kekurangan
air yang akan terjadi bila evaporasi potensial telah terpenuhi. Keadaan
kekurangan air ini (kolom 3) di asumsikan berlaku untuk semua wilayah tepi
sungai pada atau diatas tingkat kapasitas lapang.Perhitungan untuk daerah
bervegetasi (RC200mm) tampak pada kolom 5 dan 6.
Besarnya nilai SDM pada kolom 5 diasumsikan
sama dengan besarnya SDM potensial (kolom 4) serta besarnya AET (kolom 6) = PET
(kolom 2). untuk daerah padang rumput (RC 75 mm), besarnya nilai SDM (kolom 7)
diperoleh dari Tabel 3.11. sementara besarnya AET (kolom 8) dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut ini :
AET
(Mei) = SDM (Mei) – SDM (April) + Curah
hujan (Mei)
= 69 – 3 + 20
= 86 mm
Cara
perhitungan seperti tersebut di atas dilakukan untuk berbulan-bulan berikutnya
sampai dengan bulan Desember. Nilai SDM untuk daerah tangkapan air (kolom 9)
serta nilai AET pada kolom 10 ditentukan dengan menggunakan 2 persamaan berikut
:
SDM
= 0,3 SDM200 + 0,5 SDM75
AET
= 0,2 PET + 0,3 AET200 +0,5 AET75
Angka
0,3, 0,5 dan 0,2 mewakili luas bagian DAS dengan tataguna lahan masing-masing
hutan,padang rumput, daerah tepi sungai
pada kondisi kapasitas lapang.
Tabel
3.12 Laju evapotranspirasi dari beberapa jenis vegetasi di Jawa
Jenis vegetasi
|
Laju evapotranspirasi
(mm/tahun)
|
Kirinyu
|
|
Subur
|
2900
|
Sedang
|
1600-2000
|
Kurus
|
1000
|
Alang-alang
|
|
Di bogor (curah hujan tinggi)
|
1750
|
Di Jawa Tengah & Jawa Timur (curah
hujan lebih rendah )
|
1000
|
Lamtoro
|
|
Di Bogor (curah hujan tinggi)
|
4673
|
Di dataran rendah (musim kemarau
kering)
|
3000
|
Akasia
|
|
Di Bogor (curah hujan tinggi)
|
2400
|
Di Jawa Tengah & Jawa Timur
|
1600
|
Sengon
|
|
Di Bogor
|
2300
|
Tegakan the
|
900
|
Karet di Bogor
|
1300
|
Bambu pada tanah subur
|
3000
|
Jati
|
|
Subur
|
1300-1400
|
Sedang
|
800-1000
|
Kurang
|
1100-1200
|
Hutan pegunungan
|
|
100m dpl
|
1200
|
2500 m dpl
|
500-600
|
Rata-rata
|
564
|
Sumber:
coster (1937) dalam Soemarwono (1988)
Uraian tersebut diatas menunjukkan
bahwa berkurangnya cadangan air tanah akibat penanaman vegetasi berkayu (hutan)
seperti dijelaskan dalam sub-bab 3.2.3 dapat dijelaskan sebagai berikut.
Persamaan 3.17 menunjukkan bahwa kenaikan komponen transpirasi akan mengurangi
hasil air. Penambahan hasil air sebagai akibat pengurangan luas vegetasi dapat
dilihat pada tabel 8.Dengan demikian, pengaruh transpirasi pohon terhadap
besarnya cadangan air tanah sangat penting kedudukannya dalam pengelolaan
sumber daya air.
Perhitungan Evapotranspirasi
Potensial : Pendekatan Neraca Energi
Neraca
energi untuk daerah bervegetasi dapat ditulis sebagai berikut
QS–Qrs- QIW + QV
= Qet + Qh +Qc (3.31)
QS=
radiasi matahari datang
Qrs=αQs=radiasi
matahari terpantul
α=albedo
QIW=radiasi
gelombang panjang bersih dari permukaan vegetasi ke udara bebas
QV=energi
adveksi tanaman
Qet=energi
yang diperlukan untuk berlangsungnya ET
Qh=pindahan
energi dari tanaman ke udara dalam bentuk panas-tampak
Qc=pindahan
energi yang tersimpan dalam tanah dan tanaman
Satuan dari persamaan neraca energi
tersebut diatas seluruhnya dalam bentuk kalori per cm 2 satuan tanah
.
Besarnya albedo biasanya bervariasi
tergantung dari jenis vegetasi dan musim.Untuk memberikan gambaran tentang
besarnya angka albedo dari berbagai bentuk permukaan tanah dapat dilihat pada
tabel 3.13.
Tabel
3.13 Beberapa angka albedo harian rata-rata untuk bermacam-macam tipe permukaan
(Dunne dan Leopold, 1978)
Tipe permukaan
|
Albedo
|
Lokasi
|
Air
|
0,05-0,10
|
Di berbagai tempat
|
Tanah kosong
|
0,11-0,18
|
Eropa barat
|
Hutan hujan tropis
|
0,13
|
Nigeria
|
Hutan hujan tropis
|
0,11-0,16
|
Thailand
|
Hutan hujan tropis
|
0,12-0,14
|
Amazon
|
Hutan tropis daun lebar
|
0,18
|
Kenya
|
Hutan spruce
|
0,05-0,08
|
Eropa barat
|
Hutan pinus
|
0,10-0,12
|
Eropa barat
|
Hutan bamboo
|
0,12
|
Kenya
|
Hutan evergreen
|
0,14
|
Kenya
|
Perkebunan karet
|
0,13-0,16
|
Ivoly Coast
|
Tanaman the
|
0,16
|
Kenya
|
Tanaman tebu
|
0,05-0,18
|
Hawaii
|
Tanaman kentang
|
0,15-0,27
|
Eropa barat
|
Tanaman jagung
|
0,12-0,24
|
Amerika utara
|
Padang rumput
|
0,14-0,25
|
Diberbagai tempat
|
Tanaman sayuran
|
0,25
|
Amerika utara
|
Padang pasir
|
0,37
|
Israel
|
Catatan
: Gash dan Shuttleworth (1991)
Besarnya radiasi gelombang panjang
bersih umumnya diprakirakan dengan menggunakan persamaan empiris .Hubungan
antara radiasi matahari datang dengan radiasi bersih untuk semua panjang
gelombang juga bervariasi tergantung pada jenis vegetasi. Variasi hubungan
tersebut dapat ditunjukkan melalui persamaan empiris sebagai berikut :
Untuk
tanaman kentang ( α = 0,25 ) bentuk hubungan tersebut adalah :
Qn=
0,66Qs- 50 kal/cm 2/hari
Sedang
untuk hutan jenis daun jarum ( α = 0,11 ) bentuk hubungannya adalah :
Qn
= 0,83 Qs – 54 kal/cm2/hari
Qn=radiasi
matahari bersih
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan
·
Evapotranspirasi adalah keseluruhan
jumlah air yang berasal dari permukaan tanah, air dan vegetasi yang diuapkan
kembali ke atmosfer
·
Perbedaan
intersepsi
dan transpirasi adalah bahwa pada proses intersepsi yang diuapkan kembali ke
atmosfer tersebut adalah air hujan yang tertampung sementara pada permukaan
tajuk dan bagian lain dari suatu vegetasi sedangkan transpirasi adalah sebagai
hasil proses fisiologi vegetasi.
·
Intersepsi air hujan (rainfall interception loss) adalah
proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat,
untuk kemudian diuapkan kembali (“hilang”) ke atmosfer atau diserap oleh
vegetasi yang bersangkutan
·
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
intersepsi dapat dokelompokkan menjadi dua, vegetasi dan iklim. Yang termasuk
dalam kelompok vegetasi adalah luas vegetasi hidup dan mati, bentuk dan
ketebalan daun dan cabang vegetasi. Faktor iklim termasuk jumlah dan jarak lama
waktu antara satu hujan dengan hujan berikutnya, intensitas hujan, kecepatan
angin, dan beda suhu antara permukaan tajuk dan suhu atmosfer.
·
Pengukuran besarnya intersepsi pada
skala tajuk vegetasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan
neraca volume (volume balance approach)
dan pendekatan neraca energy (energy
balance approach).
·
Peranan interepsi hujan oleh vegetasi
(hutan) dalam neraca air dari suatu DAS sekarang telah lebih dipahami oleh para
pakar hidrologi hutan.
·
Evaporasi adalah penguapan air dari
permukaan air, tanah, dan bentuk permukaan bukan vegetasi lainnya oleh proses
fisika. Dua unsur utama untuk berlangsungnya evaporasi adalah energy (radiasi)
matahari dan ketersediaan air.
B.
Saran
Semoga dengan
dibuat nya makalah ini dapat menambah wawasan dan referensi bagi para pembaca,
tak lupa juga penulis meminta maaf apabila terjadi kesalahan dalam penulisan
makalah ini, dan juga penulis mengharap kan ada nya kritik dan saran agar
makalah ini dapat dikatakan sempurna.
Daftar Pustaka
Asdak, C.2007.
Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta Gadjah Mada
University Press.
Emperor Casino | Shootercasino
BalasHapusThe world's most successful 인카지노 gaming venue, 제왕카지노 the Emperor Casino is located in Casino Atalanta, Arizona. It is located on the edge of kadangpintar Tahu, home to some of the